Malam ini aku kecewa. Aku kalah. Aku bimbang untuk melangkah, malu kalau menyerah. Kemenangan itu bukan untukku. Walau aku memimpikannya, berharap tertera namaku walau hanya berada di barisan terakhir daftar-daftar itu.
Aku menekan tombol close di ujung tampilan komputerku. Cara melampiaskan kekesalan karena luluhnya setiap harapan itu.
Apa yang kalian katakan? Sabar? Berjuang? Sampai kapan! Tak perlu kalian jawab. Itu sebuah pernyataan, bukan pertanyaan. Ungkapan kekesalan.
Amarah ku mereda, kubuka lagi daftar itu.
Bodoh! Menyiksa diri sendiri. Amarah itu kembali. Kubiarkan dentuman lagu dari winamp di komputerku menghipnotis kemarahanku.
Aku sadar. Dan aku tidak malu terhadap perasaanku. Itu yang namanya manusiawi. Sebagai balasannya. Aku menulis.



                           BELUM ADA JUDUL

Mata itu. Redup. Perlu kalian tahu, dulu, hari yang lalu, matanya tak bercerita seperti itu. Mata itu coklat sarat dengan keakraban yang hangat. Keindahannya dilindungi sebaris bulu mata yang diciptakan untuk kaum sempurna. Tapi mata itu berduka. Mataku berkaca-kaca melihat mata itu mengeluarkan air bening yang aku tahu itu merupakan buah dari pahitnya kenyataan.

Aku mengulurkan tanganku, ingin menepis bulir-bulir air yang sekarang mulai menetes di pipinya. Dia pun memberikan ulurannya, tangan kami membentur sesuatu. Bidang datar. Kesadaran menggamitku, akulah sang pemilik mata.

Aku menatap refleksiku. Begitu kuyu. Aku menangis tanpa peduli suatu saat mungkin saja air mata ini akan habis. Entah berapa lama aku menatap cermin ini sampai-sampai aku bisa melihat noktah kecil menyerupai laba-laba di sudut kanan bawahnya. Kupandangi cermin itu. Beralih ke sesosok tubuh yang menggeletak di samping pahaku. Aku pembunuh. Lalu aku berteriak, tapi tak lagi mengeluarkan suara. Hanya desahan parau yang keluar.

Tubuh itu sudah membiru akibat genangan air di bak yang kerannya tak berhenti mengeluarkan air, serupa dengan kakiku yang keriput dan membiru.

Aku membunuh ibuku. Lalu untuk apa aku hidup? Aku tak ingin hidup. Aku hidup karena ibuku. Aku membunuh ibuku sama saja aku membunuh tujuanku hidup. Membunuh kehidupanku.

kenapa kau begiu jenius, heh?” teriakku ke wajah di bidang datar itu. “kalau kau membunuh ibumu, harusnya kau bunuh dirimu?”
Semua terdengar masuk akal. Membiarkan tubuh itu terjatuh, sama saja menjatuhkan tubuhku sendiri.

Mataku. Di cermin mata itu tertawa. Senang karena menemukan rumusnya. Aku mendengar suara desah parau terputus-putus. Lagi-lagi aku terlambat menyadari kalau itu tawaku.

Aku ingin berbaring di sisi ibuku. Tak peduli genangan yang kini menjadi kubangan, aku memeluk ibuku, sekaligus korban kejahatanku.
Aku jahat, aku tak seharusnya hidup kan? Aku lebih baik mati kan? Aku senang menemukan alasan-alasan untuk tidak hidup. Senang menemukannya karena lelah dengan rasa bersalah.

Aku cium keningnya yang memar karena luka. Aku meringis saat mengingat memar itu mengeluarkan darah. Membuat genangan air di bawah kami sebelumnya dihiasi warna merah. Aku pembunuh! Harusnya aku tak perlu meninggalkan ibu, tapi ibu yang menyuruhku. Dan harusnya aku membantah perintah itu. Bagaimana aku bisa meninggalkan ibuku di saat-saat fisiknya mulai rapuh di gerogot sang waktu. Aku malu. Lebih malu saat aku terpikir kalau ini bukanlah salahku.

Aku pembunuh. Aku berteriak menggila, berdiri menjauh takut gerakanku membuat ibu terluka. Namun kaki itu pun lelah setelah bersimpuh sekian lama, aku terjatuh. Di waktu yang singkat itu, aku berdoa untuk mati. Namun masih menemukan diriku menatap ibu dari tepian cermin tempat aku terjatuh. Aku terkejut saat melihat genangan itu kembali merah. aku topang tubuhku mendekati ibu, kuperiksa setiap jengkal tubuhnya. Aku melukainya. Aku melukainya. Lagi.

Tidak ada. Tidak ada bagian dari ibuku yang mengeluarkan cairan panas itu. Aku tidak menemukan sumbernya. Untuk sementara aku lega. Aku memeluk ibuku sekilas. Tanpa sengaja aku melihat gerakan dari sudut mataku, refleks yang lambat mengalihkan pandanganku ke arah gerakan itu. Terkejut aku mengamati kembaranku di cermin menjadi banyak. Darah menetes dari tempat momentum benda yang menghantamnya. Siapa yang melempar cermin itu? Aku menatap ibu. Tak mungkin. Ibu sudah mati. Aku yang membunuhnya. Bagaimana mungkin ibu yang melempar kaca itu, bahkan kalau ibu marah kepadaku karena aku membunuhnya. Aku menertawakan kekonyolan pikiranku.

Atau mungkin saja aku takut mengakui kemungkinan itu? Mungkin saja ibu marah. Memang seharusnya dia marah. Dia pantas marah kepada pembunuhnya. Seharusnya aku mendampinginya setiap saat tapi aku membunuhnya dengan meninggalkan ia pergi. Bukankah harusnya aku menjaga? Bukankah artinya ini salahku? Aku membunuh. Tangis itu pun kembali.

Aku tak berdaya lagi. Aku biarkan tubuhku jatuh di genangan itu. Aku gerakkan kepalaku ke samping. Aku ingin melihat buah dari kejahatanku. Orang yang sangat aku sayang. Genangan itu memerah di sudut mataku. Lalu pandanganku mengabur. Aku tersenyum menuju kematianku.