Mencari bukan menari
Bergerak dengan hitungan yang pasti
Harapan adalah motivasi
Menghalau diri agar tak berhenti
Karena lelah dengan sesuatu yang tak pasti

***

Dia bergerak dengan keyakinan dan kepastian. Terus bergerak tanpa meninggalkan kesan akan berhenti dan terus bertahan. Nanti. Suatu saat nanti dia pasti akan berhenti. Aku mengatakan itu dengan keyakinan dan kepastian yang sama. Aku yakin suatu saat dia akan lelah karena orang tak memperhatikannya, karena orang melupakannya, karena orang tak pernah tahu cara untuk menghormati dan menghargainya.
Suara langkahnya begitu teratur bagai mempunyai irama yang indah di tempat hampa suara. Tapi begitu mencekam saat kita mengikutinya. Aku ingin berada di keadaan saat aku tak sadar akan kehadirannya karena begitu aku tersadar, tatapannya marah dan bagai menghimpitku menjadi kaku dan tidak dapat berbuat sesuatu. Dan itu membuatnya semakin marah, karena dia ingin aku bergerak, sepertinya. Tak pernah berhenti.
Aku berlari untuk menghindarinya tapi aku selalu bertemu dengannya, bagai tertanam di dalam tubuhku, bagai serpihan kayu di dalam dagingku, sakit bila mengabaikannya.
‘Cobalah berpikir!’ perintahku terhadap diri sendiri.
Aku berpikir apa yang ia ingin aku lakukan. Aku menganalisa setiap pori dari suatu tingkah. Aku berteriak di dalam hati karena takut terdengar olehnya. Aku berteriak karena bosan tak menemukan jawabannya.
Aku putuskan untuk berjalan mencari jawaban. Abaikan bunyi langkahnya di belakangku. Lupakan teriakannya yang terus mendengung di telingaku.
Apa? Apa yang harus aku perbuat untuk menghapus kesalahanku?’ batinku. Tapi sebelumnya, apa salahku? Bagaimana aku memperbaikinya kalau aku tak tahu apa kesalahan yang kuperbuat?
Aku ingin bertanya padanya tapi aku tahu dia tak akan menjawab. Dia begitu dingin, kaku, dan bisu namun tetap bergerak. Aku ingin menanyakannya pada orang lain tapi aku juga tahu ini antara aku dan dia saja. Tanpa perantara.
Kuputar arahku di pusat kota, coba susuri jawaban di bagian-bagian terpecilnya. Mungkin aku dapat menemukannya telah terjatuh di tanah yang basah atau di dinding rumah yang entah dimana, yang bahkan aku pun tak tahu arahnya. Mungkin aku akan menemukannya walaupun aku pikir akan sia-sia.
Lagi-lagi aku mendengar suaranya, walau begitu jauh, tapi tertanam di kepalaku. Dia terdengar marah. Lagi. Karena aku telah berbuat salah. Tapi tak pernah mengatakan apa salah dan cara aku memperbaikinya. Dia memaksaku terus berpikir dan berpikir.
Aku mulai lelah, aku mengeluh tanpa suara. Aku pulang ke rumah dengan pasrah dan menundukkan kepala saat melewatinya. Aku mencoba menahan diri dan menyimpan tekad untuk mencari kunci dari seribu jawaban yang terus berkelana. Akhirnya aku menyerah pada lelah.

***

Aku bangun dan lagi-lagi aku melihatnya bergerak pada tempat yang sama, dengan langkah dan irama yang sama. Apa dia tak pernah lelah? Entahlah, aku tak ingin memikirkannya. Aku sudah lelah memikirkan kesalahanku padanya. Aku tak lagi peduli padanya. Lebih baik aku mengabaikannya. Bukankah ketidakpedulian lebih mudah menimbulkan kebahagian walau harus mengabaikan suatu kenyataan bahwa ketidakpedulian adalah simbol dari keegoisan?
Hari ini aku ingin mengelilingi kota dengan sepeda, melihat indah setiap sudutnya dan mengenal kehidupan di dalamnya. Kuputuskan untuk pergi segera, tapi sejujurnya dengan harapan ingin menemukan jawaban walau kecil adanya. Aku tahu harapan itu masih ada, menebar di segala penjuru dunia, hanya tinggal mencari dan bagaimana memanfaatkannya.
Aku jelajahi pasar. Aku menemukan seorang ibu yang membawa barang di tangan kirinya dan menggendong anak yang tak bisa ditinggalkannya di rumah karena suaminya mencari nafkah.
Aku melihat beberapa orang berteriak, orang yang berjalan ke sana kemari tak jelas tujuannya karena mereka pun bingung akan kemana. Lalu aku terpaku pada seorang lelaki tua yang diam tanpa suara. Dia membeku untuk sementara. Diam dan menatap ke depan walau tak terlihat fokusnya. Matanya agak memerah dan hitam disekelilingnya. Agaknya dia kurang tidur. Aku ingin bertanya apa yang ada dalam pikirannya tapi berhenti saat melihat bibirnya bergerak, meneriakkan kata-kata berantakan dan tak ada halusnya. Ternyata minuman itu yang mempengaruhinya.
Aku heran kepadanya, bagaimana ia sempat memanjakan dirinya dengan minuman keras sedangkan istri dan anaknya mungkin sedang mengharapkan nafkah darinya. Atau bagaimana dia bisa bersantai dengan dosa padahal akhir dunia telah mendekatinya?.
Lalu aku menggelengkan kepalaku, ‘tidak! Aku belum tentu lebih baik darinya’. Aku edarkan pandanganku kesana kemari dan sesaat keatas, ke langit biru yang membentang luas. Sebuah “burung besi” melintas dan bergemuruh membelah langit biru dan sesaat menyita perhatianku. Aku terhanyut dalam pandangan itu dan seperti terbangun dari lamunan ketika pesawat itu hanya berbentuk titik di kejauhan.
Aku tersenyum saat mengingat bahwa menerbangkannya adalah sebuah mimpi. Dulu. Bukan kini. Dan hanya menjadi ilusi.
Aku mendengar suara itu. Suara yang sangat kukenal dalam hidupku. Suaranya seperti menahan amarah, menggeram walau selalu dengan irama yang sama setiap saatnya. Suara itu bergerak dengan hitungan yang sama tapi mampu menimbulkan resah. Karena apa? Dengan siapa?. Sepertinya itu suatu tanda untukku karena aku terdiam begitu lama.
Aku kayuh lagi pedal sepedaku menuju gang-gang dengan gedung tua di sekelilingnya. Aku menikmati kesunyian disana. Hanya beberapa orang yang terlihat di sana. Aku titipkan sepeda di salah satu rumah warga agar aku lebih leluasa. Aku duduk di atas susunan bata untuk sekedar melepas lelah. Tapi tak begitu lama karena aku tak mau mendengarnya marah, walaupun aku masih penat dan berkeringat.
Aku bergerak melewati serentetan rumah dan lagi-lagi tepaku ketika melihat sekumpulan pemuda yang dengan hikmat sedang menghirup bau zat yang dapat membuatnya terlena, bebas dan gembira.
Ironis. Gembira didapat dengan cara yang salah. Sungguh penghabisan masa muda yang sia-sia. Berharap mencapai masa tua yang mungkin saja tak akan dirasakannya.
BINGO...!!!
Rasanya aku melihat kata itu dengan lampu menyala di atas kepala.
Bodoh aku tak sadar saat jawaban yang aku cari begitu tepat di depan mata. Aku berlari mengambil sepeda dan dengan cepat mengayuhnya menuju rumah. Sudah lewat tengah hari ternyata. Berarti satu lagi kesalahanku yang aku perbuat.
Salahku adalah aku telah mengabaikannya, melupakannya, bahkan tak menghargainya. Begitu sampai di rumah, kuparkir sepeda di bawah jendela dan berlari ke ruang tengah.
­Aku tatap jam tua di dinding rumahku, yang sampai sekarang masih terus bergerak dengan langkah dan irama yang itu-itu saja. Setiap gerakan jarumnya mengurangi setiap detik yang harusnya tak terbuang sia-sia. Aku begitu gembira karena menemukan jawabannya namun juga malu karenanya.
Selama ini berapa banyak waktu yang terbuang dengan sia-sia. ternyata perintahnya hanyalah agar aku memanfaatkanya. Ia tak ingin diabaikan, dilupakan ataupun tak dihargai walau tak ternilai harganya. Bukan untuknya, tapi untukku.
Aku menatapnya, dia masih terlihat marah. Aku bingung namun tersadar begitu tahu apa yang dimaksud olehnya. Dia ingin aku tak menyesali bagian dirinya yang tersia-siakan tapi memanfaatkan apa yang tersisa darinya.