DIA Yang DIABAIKAN (JUARA 1 PEKSIMIDA KALBAR 2010)
16.46
Diposting oleh HOST
Mencari bukan menari
Bergerak dengan hitungan yang pasti
Harapan adalah motivasi
Menghalau
diri agar tak berhenti
Karena lelah dengan sesuatu yang tak pasti
***
Dia bergerak dengan keyakinan dan kepastian. Terus bergerak tanpa
meninggalkan kesan akan berhenti dan terus bertahan. Nanti. Suatu
saat nanti dia pasti akan berhenti. Aku mengatakan itu dengan
keyakinan dan kepastian yang sama. Aku yakin suatu saat dia akan
lelah karena orang tak memperhatikannya, karena orang melupakannya,
karena orang tak pernah tahu cara untuk menghormati dan
menghargainya.
Suara langkahnya begitu teratur bagai mempunyai irama yang indah di
tempat hampa suara. Tapi begitu mencekam saat kita mengikutinya. Aku
ingin berada di keadaan saat aku tak sadar akan kehadirannya karena
begitu aku tersadar, tatapannya marah dan bagai menghimpitku menjadi
kaku dan tidak dapat berbuat sesuatu. Dan itu membuatnya semakin
marah, karena dia ingin aku bergerak, sepertinya. Tak pernah
berhenti.
Aku berlari untuk menghindarinya tapi aku selalu bertemu dengannya,
bagai tertanam di dalam tubuhku, bagai serpihan kayu di dalam
dagingku, sakit bila mengabaikannya.
‘Cobalah berpikir!’ perintahku terhadap diri sendiri.
Aku berpikir apa yang ia ingin aku lakukan. Aku menganalisa setiap
pori dari suatu tingkah. Aku berteriak di dalam hati karena takut
terdengar olehnya. Aku berteriak karena bosan tak
menemukan jawabannya.
Aku putuskan untuk berjalan mencari jawaban. Abaikan bunyi langkahnya
di belakangku. Lupakan teriakannya yang terus mendengung di
telingaku.
‘Apa? Apa yang harus aku perbuat untuk menghapus
kesalahanku?’ batinku. Tapi sebelumnya, apa salahku? Bagaimana aku
memperbaikinya kalau aku tak tahu apa kesalahan yang kuperbuat?
Aku ingin bertanya padanya tapi aku tahu dia tak
akan menjawab. Dia begitu dingin, kaku, dan bisu namun tetap
bergerak. Aku ingin menanyakannya pada orang lain tapi aku juga tahu
ini antara aku dan dia saja. Tanpa perantara.
Kuputar arahku di pusat kota, coba susuri jawaban
di bagian-bagian terpecilnya. Mungkin aku dapat menemukannya telah
terjatuh di tanah yang basah atau di dinding rumah yang entah dimana,
yang bahkan aku pun tak tahu arahnya. Mungkin
aku akan menemukannya walaupun aku pikir akan sia-sia.
Lagi-lagi aku mendengar suaranya, walau begitu
jauh, tapi tertanam di kepalaku. Dia terdengar marah. Lagi. Karena
aku telah berbuat salah. Tapi tak pernah mengatakan apa salah dan
cara aku memperbaikinya. Dia memaksaku terus berpikir dan berpikir.
Aku mulai lelah, aku mengeluh tanpa suara. Aku
pulang ke rumah dengan pasrah dan menundukkan kepala saat
melewatinya. Aku mencoba menahan diri dan menyimpan tekad untuk
mencari kunci dari seribu jawaban yang terus berkelana. Akhirnya
aku menyerah pada lelah.
***
Aku bangun dan lagi-lagi aku melihatnya bergerak
pada tempat yang sama, dengan langkah dan irama yang sama. Apa
dia tak pernah lelah? Entahlah, aku tak ingin memikirkannya. Aku
sudah lelah memikirkan kesalahanku padanya. Aku tak lagi peduli
padanya. Lebih baik aku mengabaikannya. Bukankah ketidakpedulian
lebih mudah menimbulkan kebahagian walau harus mengabaikan suatu
kenyataan bahwa ketidakpedulian adalah simbol dari keegoisan?
Hari ini aku ingin mengelilingi kota dengan sepeda, melihat indah
setiap sudutnya dan mengenal kehidupan di dalamnya. Kuputuskan untuk
pergi segera, tapi sejujurnya dengan harapan ingin menemukan jawaban
walau kecil adanya. Aku tahu harapan itu masih ada, menebar di segala
penjuru dunia, hanya tinggal mencari dan bagaimana memanfaatkannya.
Aku jelajahi pasar. Aku menemukan seorang ibu yang membawa barang di
tangan kirinya dan menggendong anak yang tak bisa ditinggalkannya di
rumah karena suaminya mencari nafkah.
Aku melihat beberapa orang berteriak, orang yang berjalan ke sana
kemari tak jelas tujuannya karena mereka pun bingung akan kemana.
Lalu aku terpaku pada seorang lelaki tua yang diam tanpa suara. Dia
membeku untuk sementara. Diam dan menatap ke depan walau tak terlihat
fokusnya. Matanya agak memerah dan hitam disekelilingnya. Agaknya dia
kurang tidur. Aku ingin bertanya apa yang ada dalam pikirannya tapi
berhenti saat melihat bibirnya bergerak, meneriakkan kata-kata
berantakan dan tak ada halusnya. Ternyata minuman itu yang
mempengaruhinya.
Aku heran kepadanya, bagaimana ia sempat memanjakan dirinya dengan
minuman keras sedangkan istri dan anaknya mungkin sedang mengharapkan
nafkah darinya. Atau bagaimana dia bisa bersantai dengan dosa padahal
akhir dunia telah mendekatinya?.
Lalu aku menggelengkan kepalaku, ‘tidak! Aku belum tentu lebih
baik darinya’. Aku edarkan pandanganku kesana kemari dan sesaat
keatas, ke langit biru yang membentang luas. Sebuah “burung besi”
melintas dan bergemuruh membelah langit biru dan sesaat menyita
perhatianku. Aku terhanyut dalam pandangan itu dan seperti terbangun
dari lamunan ketika pesawat itu hanya berbentuk titik di kejauhan.
Aku tersenyum saat mengingat bahwa menerbangkannya adalah sebuah
mimpi. Dulu. Bukan kini. Dan hanya menjadi ilusi.
Aku mendengar suara itu. Suara yang sangat kukenal
dalam hidupku. Suaranya seperti menahan amarah, menggeram walau
selalu dengan irama yang sama setiap saatnya. Suara itu bergerak
dengan hitungan yang sama tapi mampu menimbulkan resah. Karena apa?
Dengan siapa?. Sepertinya itu suatu tanda untukku karena aku terdiam
begitu lama.
Aku kayuh lagi pedal sepedaku menuju gang-gang
dengan gedung tua di sekelilingnya. Aku menikmati kesunyian disana.
Hanya beberapa orang yang terlihat di sana. Aku titipkan
sepeda di salah satu rumah warga agar aku lebih leluasa. Aku duduk di
atas susunan bata untuk sekedar melepas lelah. Tapi tak begitu lama
karena aku tak mau mendengarnya marah, walaupun aku masih penat dan
berkeringat.
Aku bergerak melewati serentetan rumah dan lagi-lagi tepaku ketika
melihat sekumpulan pemuda yang dengan hikmat sedang menghirup bau zat
yang dapat membuatnya terlena, bebas dan gembira.
Ironis. Gembira didapat dengan cara yang salah.
Sungguh penghabisan masa muda yang sia-sia.
Berharap mencapai masa tua yang mungkin saja tak akan dirasakannya.
BINGO...!!!
Rasanya aku melihat kata itu dengan lampu menyala di atas kepala.
Bodoh aku tak sadar saat jawaban yang aku cari begitu tepat di depan
mata. Aku berlari mengambil sepeda dan dengan cepat mengayuhnya
menuju rumah. Sudah lewat tengah hari ternyata. Berarti satu lagi
kesalahanku yang aku perbuat.
Salahku adalah aku telah mengabaikannya,
melupakannya, bahkan tak menghargainya. Begitu sampai di rumah,
kuparkir sepeda di bawah jendela dan berlari ke ruang tengah.
Aku tatap jam tua di dinding rumahku, yang
sampai sekarang masih terus bergerak dengan langkah dan irama yang
itu-itu saja. Setiap gerakan jarumnya mengurangi setiap detik yang
harusnya tak terbuang sia-sia. Aku begitu gembira karena menemukan
jawabannya namun juga malu karenanya.
Selama ini berapa banyak waktu yang terbuang dengan sia-sia. ternyata
perintahnya hanyalah agar aku memanfaatkanya. Ia tak ingin diabaikan,
dilupakan ataupun tak dihargai walau tak ternilai harganya. Bukan
untuknya, tapi untukku.
Aku menatapnya, dia masih terlihat marah. Aku bingung namun tersadar
begitu tahu apa yang dimaksud olehnya. Dia ingin aku tak menyesali
bagian dirinya yang tersia-siakan tapi memanfaatkan apa yang tersisa
darinya.
This entry was posted on October 4, 2009 at 12:14 pm, and is filed under
CERPEN
. Follow any responses to this post through RSS. You can leave a response, or trackback from your own site.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
19 Oktober 2011 pukul 18.24
DALAM.
bagus can :)
20 Oktober 2011 pukul 16.52
makacih ibuuu :)