menarilah (dengan hati) by TIKA

Lewat tangan Bergeraklah
Lewat Kaki Melangkahlah
Lewat mata Bicaralah
Lewat senyuman Ekspresikanlah
Lewat lekukan Lengkapilah
Dan dari Hati untuk Hati dengan Hati Maka Menarilah
Menarilah dengan hati





klik link >>> alamat facebook penulis

DIA Yang DIABAIKAN (JUARA 1 PEKSIMIDA KALBAR 2010)


Mencari bukan menari
Bergerak dengan hitungan yang pasti
Harapan adalah motivasi
Menghalau diri agar tak berhenti
Karena lelah dengan sesuatu yang tak pasti

***

Dia bergerak dengan keyakinan dan kepastian. Terus bergerak tanpa meninggalkan kesan akan berhenti dan terus bertahan. Nanti. Suatu saat nanti dia pasti akan berhenti. Aku mengatakan itu dengan keyakinan dan kepastian yang sama. Aku yakin suatu saat dia akan lelah karena orang tak memperhatikannya, karena orang melupakannya, karena orang tak pernah tahu cara untuk menghormati dan menghargainya.
Suara langkahnya begitu teratur bagai mempunyai irama yang indah di tempat hampa suara. Tapi begitu mencekam saat kita mengikutinya. Aku ingin berada di keadaan saat aku tak sadar akan kehadirannya karena begitu aku tersadar, tatapannya marah dan bagai menghimpitku menjadi kaku dan tidak dapat berbuat sesuatu. Dan itu membuatnya semakin marah, karena dia ingin aku bergerak, sepertinya. Tak pernah berhenti.
Aku berlari untuk menghindarinya tapi aku selalu bertemu dengannya, bagai tertanam di dalam tubuhku, bagai serpihan kayu di dalam dagingku, sakit bila mengabaikannya.
‘Cobalah berpikir!’ perintahku terhadap diri sendiri.
Aku berpikir apa yang ia ingin aku lakukan. Aku menganalisa setiap pori dari suatu tingkah. Aku berteriak di dalam hati karena takut terdengar olehnya. Aku berteriak karena bosan tak menemukan jawabannya.
Aku putuskan untuk berjalan mencari jawaban. Abaikan bunyi langkahnya di belakangku. Lupakan teriakannya yang terus mendengung di telingaku.
Apa? Apa yang harus aku perbuat untuk menghapus kesalahanku?’ batinku. Tapi sebelumnya, apa salahku? Bagaimana aku memperbaikinya kalau aku tak tahu apa kesalahan yang kuperbuat?
Aku ingin bertanya padanya tapi aku tahu dia tak akan menjawab. Dia begitu dingin, kaku, dan bisu namun tetap bergerak. Aku ingin menanyakannya pada orang lain tapi aku juga tahu ini antara aku dan dia saja. Tanpa perantara.
Kuputar arahku di pusat kota, coba susuri jawaban di bagian-bagian terpecilnya. Mungkin aku dapat menemukannya telah terjatuh di tanah yang basah atau di dinding rumah yang entah dimana, yang bahkan aku pun tak tahu arahnya. Mungkin aku akan menemukannya walaupun aku pikir akan sia-sia.
Lagi-lagi aku mendengar suaranya, walau begitu jauh, tapi tertanam di kepalaku. Dia terdengar marah. Lagi. Karena aku telah berbuat salah. Tapi tak pernah mengatakan apa salah dan cara aku memperbaikinya. Dia memaksaku terus berpikir dan berpikir.
Aku mulai lelah, aku mengeluh tanpa suara. Aku pulang ke rumah dengan pasrah dan menundukkan kepala saat melewatinya. Aku mencoba menahan diri dan menyimpan tekad untuk mencari kunci dari seribu jawaban yang terus berkelana. Akhirnya aku menyerah pada lelah.

***

Aku bangun dan lagi-lagi aku melihatnya bergerak pada tempat yang sama, dengan langkah dan irama yang sama. Apa dia tak pernah lelah? Entahlah, aku tak ingin memikirkannya. Aku sudah lelah memikirkan kesalahanku padanya. Aku tak lagi peduli padanya. Lebih baik aku mengabaikannya. Bukankah ketidakpedulian lebih mudah menimbulkan kebahagian walau harus mengabaikan suatu kenyataan bahwa ketidakpedulian adalah simbol dari keegoisan?
Hari ini aku ingin mengelilingi kota dengan sepeda, melihat indah setiap sudutnya dan mengenal kehidupan di dalamnya. Kuputuskan untuk pergi segera, tapi sejujurnya dengan harapan ingin menemukan jawaban walau kecil adanya. Aku tahu harapan itu masih ada, menebar di segala penjuru dunia, hanya tinggal mencari dan bagaimana memanfaatkannya.
Aku jelajahi pasar. Aku menemukan seorang ibu yang membawa barang di tangan kirinya dan menggendong anak yang tak bisa ditinggalkannya di rumah karena suaminya mencari nafkah.
Aku melihat beberapa orang berteriak, orang yang berjalan ke sana kemari tak jelas tujuannya karena mereka pun bingung akan kemana. Lalu aku terpaku pada seorang lelaki tua yang diam tanpa suara. Dia membeku untuk sementara. Diam dan menatap ke depan walau tak terlihat fokusnya. Matanya agak memerah dan hitam disekelilingnya. Agaknya dia kurang tidur. Aku ingin bertanya apa yang ada dalam pikirannya tapi berhenti saat melihat bibirnya bergerak, meneriakkan kata-kata berantakan dan tak ada halusnya. Ternyata minuman itu yang mempengaruhinya.
Aku heran kepadanya, bagaimana ia sempat memanjakan dirinya dengan minuman keras sedangkan istri dan anaknya mungkin sedang mengharapkan nafkah darinya. Atau bagaimana dia bisa bersantai dengan dosa padahal akhir dunia telah mendekatinya?.
Lalu aku menggelengkan kepalaku, ‘tidak! Aku belum tentu lebih baik darinya’. Aku edarkan pandanganku kesana kemari dan sesaat keatas, ke langit biru yang membentang luas. Sebuah “burung besi” melintas dan bergemuruh membelah langit biru dan sesaat menyita perhatianku. Aku terhanyut dalam pandangan itu dan seperti terbangun dari lamunan ketika pesawat itu hanya berbentuk titik di kejauhan.
Aku tersenyum saat mengingat bahwa menerbangkannya adalah sebuah mimpi. Dulu. Bukan kini. Dan hanya menjadi ilusi.
Aku mendengar suara itu. Suara yang sangat kukenal dalam hidupku. Suaranya seperti menahan amarah, menggeram walau selalu dengan irama yang sama setiap saatnya. Suara itu bergerak dengan hitungan yang sama tapi mampu menimbulkan resah. Karena apa? Dengan siapa?. Sepertinya itu suatu tanda untukku karena aku terdiam begitu lama.
Aku kayuh lagi pedal sepedaku menuju gang-gang dengan gedung tua di sekelilingnya. Aku menikmati kesunyian disana. Hanya beberapa orang yang terlihat di sana. Aku titipkan sepeda di salah satu rumah warga agar aku lebih leluasa. Aku duduk di atas susunan bata untuk sekedar melepas lelah. Tapi tak begitu lama karena aku tak mau mendengarnya marah, walaupun aku masih penat dan berkeringat.
Aku bergerak melewati serentetan rumah dan lagi-lagi tepaku ketika melihat sekumpulan pemuda yang dengan hikmat sedang menghirup bau zat yang dapat membuatnya terlena, bebas dan gembira.
Ironis. Gembira didapat dengan cara yang salah. Sungguh penghabisan masa muda yang sia-sia. Berharap mencapai masa tua yang mungkin saja tak akan dirasakannya.
BINGO...!!!
Rasanya aku melihat kata itu dengan lampu menyala di atas kepala.
Bodoh aku tak sadar saat jawaban yang aku cari begitu tepat di depan mata. Aku berlari mengambil sepeda dan dengan cepat mengayuhnya menuju rumah. Sudah lewat tengah hari ternyata. Berarti satu lagi kesalahanku yang aku perbuat.
Salahku adalah aku telah mengabaikannya, melupakannya, bahkan tak menghargainya. Begitu sampai di rumah, kuparkir sepeda di bawah jendela dan berlari ke ruang tengah.
­Aku tatap jam tua di dinding rumahku, yang sampai sekarang masih terus bergerak dengan langkah dan irama yang itu-itu saja. Setiap gerakan jarumnya mengurangi setiap detik yang harusnya tak terbuang sia-sia. Aku begitu gembira karena menemukan jawabannya namun juga malu karenanya.
Selama ini berapa banyak waktu yang terbuang dengan sia-sia. ternyata perintahnya hanyalah agar aku memanfaatkanya. Ia tak ingin diabaikan, dilupakan ataupun tak dihargai walau tak ternilai harganya. Bukan untuknya, tapi untukku.
Aku menatapnya, dia masih terlihat marah. Aku bingung namun tersadar begitu tahu apa yang dimaksud olehnya. Dia ingin aku tak menyesali bagian dirinya yang tersia-siakan tapi memanfaatkan apa yang tersisa darinya.

Banyak Yang Nanya...

di cerpenku ada kalimat kayak gini

aku cinta karna aku suka..
bukan karna aku ingin...



maksudnya apa?

menurut aku...
kt gak prnah d berikan ksmpatan utk memilih dengan syp kite jtuh cinta...
jd faktanya, ada sebagian orang yang gak ingin mencintai karena mencintai org yg salah..
tapiiiiiiii....
walaupun cnt sm org yg salah, cnt sm org itu tu menjadi kebiasaan tiap hariny,, sadar atau gak, , kt lbh suka dan gk prnh nyesal cnt sm org (walaupun org yg salah), drpd ndk prnh jtuh cnt sama sekali.krn sesungguhnya "DIA" membuat hidup kita lebih berwarna.^__^

SASTRA YANG BUKAN SASTRA

Tentangnya selalu tak ada kata…
Abstrak…
Kehilangan sebuah awal…
Tak pernah mencapai sebuah akhir…
Mencintainya melalui tulisan…
Memujinya dengan segala kiasan..
Mencurahakan segalanya tentang dia..
Akan kehilangan kata..
Bahkan kata “berhenti” untuk menghentikan aku menulis. Tentangnya.
Selalu ada cerita, sulit melalui kata-kata..
Maka hanya aku yang memahami rasa ini..
Takkan pernah terbagi, bukan tak mau tapi tak bisa.

Maka dia adalah sastra yang bukan sastra.

1

diamku bukan untukmu,,
aku bukan pelit untuk bersuara
percuma,,
suara yang terseret pun hanya memastikan sebuah kebohongan,,
membiarkan huruf itu di dalam bayang, hanya usahaku membuktikan sebuah kebenaran,,

aku hening dalam lakonmu,,
biarkan kau melakukan pola yang harusnya kau pahami,,
aku bukan terdiam, tapi memilih untuk diam,,
aku hanya lelah melihatmu bersama malam..
kamu meng-hitam

pilihanmu bukan antara aku dan janjimu..
karena memang tak ada janji..
ini semua hanya tentangmu..

Note ini dibuat ketika tidak menemukan nama saya di daftar pemenang LMCR Lip Ice 2010

Malam ini aku kecewa. Aku kalah. Aku bimbang untuk melangkah, malu kalau menyerah. Kemenangan itu bukan untukku. Walau aku memimpikannya, berharap tertera namaku walau hanya berada di barisan terakhir daftar-daftar itu.
Aku menekan tombol close di ujung tampilan komputerku. Cara melampiaskan kekesalan karena luluhnya setiap harapan itu.
Apa yang kalian katakan? Sabar? Berjuang? Sampai kapan! Tak perlu kalian jawab. Itu sebuah pernyataan, bukan pertanyaan. Ungkapan kekesalan.
Amarah ku mereda, kubuka lagi daftar itu.
Bodoh! Menyiksa diri sendiri. Amarah itu kembali. Kubiarkan dentuman lagu dari winamp di komputerku menghipnotis kemarahanku.
Aku sadar. Dan aku tidak malu terhadap perasaanku. Itu yang namanya manusiawi. Sebagai balasannya. Aku menulis.



                           BELUM ADA JUDUL

Mata itu. Redup. Perlu kalian tahu, dulu, hari yang lalu, matanya tak bercerita seperti itu. Mata itu coklat sarat dengan keakraban yang hangat. Keindahannya dilindungi sebaris bulu mata yang diciptakan untuk kaum sempurna. Tapi mata itu berduka. Mataku berkaca-kaca melihat mata itu mengeluarkan air bening yang aku tahu itu merupakan buah dari pahitnya kenyataan.

Aku mengulurkan tanganku, ingin menepis bulir-bulir air yang sekarang mulai menetes di pipinya. Dia pun memberikan ulurannya, tangan kami membentur sesuatu. Bidang datar. Kesadaran menggamitku, akulah sang pemilik mata.

Aku menatap refleksiku. Begitu kuyu. Aku menangis tanpa peduli suatu saat mungkin saja air mata ini akan habis. Entah berapa lama aku menatap cermin ini sampai-sampai aku bisa melihat noktah kecil menyerupai laba-laba di sudut kanan bawahnya. Kupandangi cermin itu. Beralih ke sesosok tubuh yang menggeletak di samping pahaku. Aku pembunuh. Lalu aku berteriak, tapi tak lagi mengeluarkan suara. Hanya desahan parau yang keluar.

Tubuh itu sudah membiru akibat genangan air di bak yang kerannya tak berhenti mengeluarkan air, serupa dengan kakiku yang keriput dan membiru.

Aku membunuh ibuku. Lalu untuk apa aku hidup? Aku tak ingin hidup. Aku hidup karena ibuku. Aku membunuh ibuku sama saja aku membunuh tujuanku hidup. Membunuh kehidupanku.

kenapa kau begiu jenius, heh?” teriakku ke wajah di bidang datar itu. “kalau kau membunuh ibumu, harusnya kau bunuh dirimu?”
Semua terdengar masuk akal. Membiarkan tubuh itu terjatuh, sama saja menjatuhkan tubuhku sendiri.

Mataku. Di cermin mata itu tertawa. Senang karena menemukan rumusnya. Aku mendengar suara desah parau terputus-putus. Lagi-lagi aku terlambat menyadari kalau itu tawaku.

Aku ingin berbaring di sisi ibuku. Tak peduli genangan yang kini menjadi kubangan, aku memeluk ibuku, sekaligus korban kejahatanku.
Aku jahat, aku tak seharusnya hidup kan? Aku lebih baik mati kan? Aku senang menemukan alasan-alasan untuk tidak hidup. Senang menemukannya karena lelah dengan rasa bersalah.

Aku cium keningnya yang memar karena luka. Aku meringis saat mengingat memar itu mengeluarkan darah. Membuat genangan air di bawah kami sebelumnya dihiasi warna merah. Aku pembunuh! Harusnya aku tak perlu meninggalkan ibu, tapi ibu yang menyuruhku. Dan harusnya aku membantah perintah itu. Bagaimana aku bisa meninggalkan ibuku di saat-saat fisiknya mulai rapuh di gerogot sang waktu. Aku malu. Lebih malu saat aku terpikir kalau ini bukanlah salahku.

Aku pembunuh. Aku berteriak menggila, berdiri menjauh takut gerakanku membuat ibu terluka. Namun kaki itu pun lelah setelah bersimpuh sekian lama, aku terjatuh. Di waktu yang singkat itu, aku berdoa untuk mati. Namun masih menemukan diriku menatap ibu dari tepian cermin tempat aku terjatuh. Aku terkejut saat melihat genangan itu kembali merah. aku topang tubuhku mendekati ibu, kuperiksa setiap jengkal tubuhnya. Aku melukainya. Aku melukainya. Lagi.

Tidak ada. Tidak ada bagian dari ibuku yang mengeluarkan cairan panas itu. Aku tidak menemukan sumbernya. Untuk sementara aku lega. Aku memeluk ibuku sekilas. Tanpa sengaja aku melihat gerakan dari sudut mataku, refleks yang lambat mengalihkan pandanganku ke arah gerakan itu. Terkejut aku mengamati kembaranku di cermin menjadi banyak. Darah menetes dari tempat momentum benda yang menghantamnya. Siapa yang melempar cermin itu? Aku menatap ibu. Tak mungkin. Ibu sudah mati. Aku yang membunuhnya. Bagaimana mungkin ibu yang melempar kaca itu, bahkan kalau ibu marah kepadaku karena aku membunuhnya. Aku menertawakan kekonyolan pikiranku.

Atau mungkin saja aku takut mengakui kemungkinan itu? Mungkin saja ibu marah. Memang seharusnya dia marah. Dia pantas marah kepada pembunuhnya. Seharusnya aku mendampinginya setiap saat tapi aku membunuhnya dengan meninggalkan ia pergi. Bukankah harusnya aku menjaga? Bukankah artinya ini salahku? Aku membunuh. Tangis itu pun kembali.

Aku tak berdaya lagi. Aku biarkan tubuhku jatuh di genangan itu. Aku gerakkan kepalaku ke samping. Aku ingin melihat buah dari kejahatanku. Orang yang sangat aku sayang. Genangan itu memerah di sudut mataku. Lalu pandanganku mengabur. Aku tersenyum menuju kematianku.