LAIN DI HATI, LAIN DI CERITA


“Trus?” ah, ntah kenapa aku mulai kembali dengan canduku. Rasa penasaran. Ingin tahu sampai setiap jengkal kisah mereka.

“ya, aku hanya bilang kepadanya bahwa aku tak bisa memaksakan keinginanku untuk memilikinya. Aku hanya memperjuangkan cintaku untuknya. Aku rasa dia orang yang baik, dan mmperjuangkannya terasa benar. Hanya sampai batas itu. Aku hanya minta kepadanya untuk membiarkan aku mencintainya.”

“Kau munafik sesungguhnya, kau ingin mmilikinya. Rasa itu aku yakin ada dalam 80% dalam dirimu.” Tapi ini tak kusampaikan. Aku hanya diam, menjadi pendengar yang baik. Dia tak butuh saranku, dia hanya butuh sepasang telinga saat ini. Oh, aku benar-benar terlatih untuk ini. Seperti tim SWAT yang terlatih untuk bergerak dalam keadaan darurat.

“Kau tahu, Han?” aku hanya menoleh ke arahnya dan mengangkat alisku. Bahkan kini aku tak perlu melemparkan kata ‘Lalu’,’ trus’ atau apapun untuk membuatnya cerita lebih jauh. Lebih menyeluruh. Dia mengantar ceritanya kepadaku. “aku dulu seperti orang yang diam-diam memperhatikan jendela rumah yang isinya adalah bahagia, menunggu kapan aku punya celah dan berdoa mereka berpisah. Lalu masuk, mengobati luka dan membentuk bahagia yang lainnya.”

“sekarang?” dia butuh pertanyaan ini.

“Sekarang aku tahu, kalaupun aku tak punya celah untuk lompat melalui jendela itu, biarkan aku mengawasi jendela itu dari jauh, dari jendela rumahku yang aku bangun dalam jarak pandang terjauh.”

“Kau bohong lagi Tio, kau sering kali menyelinap melalui jendela itu, memanjakan wanitanya ketika sang lelaki terlelap. Itu semua kau katakan khilaf. Tapi tak semua salah ada padamu, wanitanya yang membuka gerendel jendela itu, membiarkanmu masuk bahkan mendamba rela menunggu di tepi jendela. Dia bilang itu tak ada salahnya.” Lagi-lagi aku diam.

“aku lelah Han. Aku juga tak ingin terus menyiksa ini” menunjuk dadanya

“kau menikmatinya Tio, kau menikmati memanjakannya walau kau tahu itu salah dari semula. Kau menikmati respon dari wanitamu yang juga wanitanya. Kau menikmati momen kau menyakiti bagian yang kau tunjuk saat ini.”

PUNCAK



Dirapatkannya tangan ke dinding, menggaruk mencari pegangan. Mungkin ini posisi terakhir yang dapat dilakukannya sebelum kenikmatan ini menyentuh puncak. Lelah menggarap dinding yang datar, jarinya memelintir daging kehitaman di ujung buah yang ranum, seolah ingin mempercepat tujuan. Tak sabar. Bukan. Tapi tak tahan. Lelah menunggu.
Darrrr!
Tubuhnya bergetar. menggigil lalu menggeliat dibasahi keringat. Sesekali tersentak, tersengat sisa kenikmatan yang membuatnya bergetar. haaahh, kalau ada yang menusukkan pisau di atas perut ratanya saat ini, berteriak pun sudah tak mampu dilakukannya. Lelah. Tapi bahagia. Kalau dunia bisa senikmat ini, bagaimana surga?
Sudah berapa malam tubuhnya menyatu dengan tubuh yang berbeda setiap kenikmatan yang diraihnya. Entah berapa malam desahannya menyatu dengan suara berat sebagai kombinasinya. Kenikmatan ini tiada habisnya. Semakin hari semakin ingin merenggutnya. Ingin menjadikan setiap kenikmatan dunia menjadi miliknya. Rakus. Dan ini candu. Bahkan ia pun paham tentang itu.
Jangan bicara “berhenti” kepadanya. Karena jawabannya hanya tawa. “munafik bangsat! Jangan hanya bicara. Rasakan sekali saja, dan beri aku cara untuk menafikannya kemudian berhenti mengharapkannya” mungkin itu isi tawaanya.