Hahahahaha
Apa? Kenapa aku memulainya dengan tertawa?
Jawabannya, “aku harus mulai ini dengan tertawa” . Aku harus mengisi cerita ini dengan sesekali tertawa. Karena aku tidak tahu kapan tertawa lepas seperti ini akan jadi bagian ceritaku, karena aku tak tahu harus menyisipkannya di bagian mana, tengah, sepertiganya atau di akhir cerita. Karena bahkan aku belum tahu bagaimana akhir cerita ini sebenarnya. Maka dari itu aku mulai dengan tawa.
Akan sangat melankolis kalau aku bercerita bagaimana kehidupanku dimulai hingga aku menginjak dewasa. Atau mungkin tua, kalau kalian pikir umur 24 itu sudah tua. Tak ada yang istimewa dari ceritaku sebenarnya, aku bukan lahir di keluarga kaya raya, punya rumah mewah, uang berlimpah, seperti cerita-cerita yang kalian baca di majalah dengan cover artis ternama.
Aku juga tak mau mulai cerita bagaimana aku harus pindah dari rumah “tidak mewah”-ku ke setiap rumah sewa yang entah kenapa semakin sering pindah semakin tak terasa seperti rumah. Biarkan aku memulainya dengan indah, karena semoga saja, ketika aku selesai bercerita aku menemukan ending yang bahagia.
Aku ingin kalian tersnyum.


Selalu tentang cinta.
Hahahahahahaha. Ternyata aku bisa menyelipkan tawa.
Ya, selalu cinta lah yang terdengar indah. Kau bisa menemukan senyum simpul malu di wajah mereka yang baru saja bertemu cinta. kau bisa menyaksikan semburat merah di pipi seorang gadis tanpa perona wajah. Kau bisa melakukan apa saja ketika kau sandingkan kata “jatuh” dengan “cinta”. Selalu penuh keajaiban ketika berbicara cinta.
Begitulah aku akan membicarakanmu. Keajaiban yang aku rasakan saat bertemu denganmu. Malam itu kita memang berjanji temu dengan berlandaskan nafsu. Tapi mungkin ini yang tak pernah kau tahu, malam itu sempurna sluruh malam ku jatuh bersamamu. Rasa itu tumbuh di bawah nafasmu. Rinduku meenggebu padahal kau masih dibawahku, membungkus desahan bersama erangan tertahan. Malam itu sempurna penuh kenikmatan, juga sempurnalah aku jatuh cinta.
Kau tahu apa kata mereka?
Jika kau semudah itu mengajakku bertemu lalu bercumbu, entah sudah berapa lelaki yang kau bekalkan kenikmatan ketika mereka pulang.  Apa arti kata sayang jika kau mengucapkannya ketika kau bergoyang, mengangkang dan diucapkan dengan gampang padahal kita baru pertama kali bertemu semalam saat petang. Di kamarmu, dan kita mulai dengan tlanjang. Kata mereka, aku bisa mendapatkan orang sepertimu dengan uang.
Hahahahahahaha, lihatlah aku tertawa lagi.
Tidakkah kau sadar kenapa aku tertawa? Mereka lupa bahwa aku bukan dari keluarga kaya. Lagipula ini sempurna tentang cinta. mereka tidak tahu bagaimana malamku runtuh bersama peluhmu, ketika cinta tumbuh di antara reruntuhan itu. Hanya ada aku dan kamu.
Semkin hari aku semakin bahagia. Bagaimana tidak, kau muda dan manja. Tak malu bergelayut mesra untuk menunjukkan rasa kita sama. Sebaliknya aku, merasa bangga karna selalu ada ketika kau butuh, merasa benar karena menemukanmu. Hingga suatu hari aku memutuskan kau sebagai “rumah”ku, itu pun atas seizinmu. Entah bagaimana kau membuatku merasa harus kembali setiap kali aku pergi. Seperti kata orang-orang, tidak ada tempat yang lebih nyaman daripada rumah sendiri. Kau adalah rumahku saat ini, tempat paling nyaman untuk kembali.
Kau, mengalahkan semua rumah-rumah sewa yang pernah aku singgah. Walaupun ada keluarga di sana, entah bagaimana rumah-rumah itu tidak sesuai dengan harapanku akan definisi rumah dan keluarga. Yang aku tau aku punya ibu, ayah, dan saudara. Sungguh demi apapun aku menyayangi mereka, hanya saja aku tak punya rumah. Rumah-rumah sewa itu bukan rumahku. Rumahku adalah kamu.  Sejauh apapun aku pergi, aku selalu ingin kembali. Padamu. Rumahku.
Kenapa aku begitu berkeras menyatakan kau adalah rumah, tempat dimana aku merasa betah, tempat aku nyaman tinggal berlama-lama, tempat aku menyandarkan lelah, membagi duka walau lebih sering menawarkan bahagia. Waktu aku masih setinggi pinggangku sekarang, aku tinggal bersama ibunya ibu. Hingga beberapa tahun setelah kelahiran adikku, aku tinggal bersama orang tua. Mengecap sedikit memori tentang rumah dan keluarga sebelum akhirnya aku pindah ke rumah sewa yang pertama. Rumah itu di jual untuk menebus saudaraku yang katanya bisa keluar dari penjara dengan belasan juta saja. sialnya rumah terjual namun dia tak kunjung keluar. Tentu saja aku mengkal. Ibuku ditipu, ayahku malu, aku kehilangan rumah pertamaku dan adikku tentu saja belum waktunya untuk tahu.
Waktu itu, aku baru saja menyelesaikan sekolahku. Ah ya, kalau saja kau tahu, dari beberapa saudaraku yang lebih tua, hanya aku yang menyelesaikan sekolahku sampai SMA. Dengan prestasi, tanpa mengeluh, tanpa menuntut ini itu. Tapi aku harus sadar untuk lanjut di bangku kuliah. Tentu saja masalah biaya. Bagaimana bisa urusan ini menjadi mudah, ketika uang tebusan penjara hilang tak ada guna, sekarang harus mengais rejeki membayar rumah sewa, tak mungkin aku menuntut keinginanku menyentuh ilmu di bangku kuliah. Aku harus bekerja.
Mulai saat itulah aku menghapus beberapa mimpi, menulisnya kembali dengan porsi yang lebih mini. Berusaha berbesar hati ketika keinginan itu menjadi angan-angan.
Maka aku bekerja, menyebar permohonan dengan selembar fotocopy ijazah. Ini sebenarnya juga usaha untuk lari dari rumah (sewa). Sekarang tempat itu seperti taman air mata, sedikit kali meninggalkan tawa. Iparku, wanita yang ditinggal pergi suami berbatas jeruji, menangis tak henti. Tentu saja ibuku merasa bertanggung jawab atas akibat kelakuan anaknya yang mendekap karena narkoba. Maka ibuku membukakan pintu, menbagi ruang untuk menantu dan dua cucu. Membuat tambahan batas di rumah (sewa) yang memang sudah terbatas.
Aku diterima bekerja, pergi pagi pulang senja, keluar lagi melepas resah, menikmati masa remaja yang tidak biasa. Berusaha menjadi remaja pada umumnya. Mereka tidak perlu tahu tentang rumah sewa, orang tua, iparku, saudaraku yang tak tahu malu. Jika mereka bertanya, aku bilang aku hidup sendiri di sini, keluargaku ada di sudut terjauh pulau ini.
Bukankah rumah tempat aku menyandarkan lelah? Lalu bagaimana aku menyebut rumah ini sebagai rumah. Satu jam saja aku di sana, yang kudengar adalah puluhan teriakan marah, lagi-lagi iparku yang meneteskan airmata. Tak mau berlebihan, memang kadang masih ada tawa, tapi hanya beberapakali dari 24 jam sehari.
Tahun berikutnya lagi-lagi aku harus pindah. Mencari rumah (sewa) yang lebih murah. Karena asal kalian tahu, abang-sial-ku itu kembali meminta tebusan yang katanya belasan juta itu kali ini dapat membantu. Berteriak, berdebat, berbusa-busa pun aku menentang orang tua, omonganku bukan apa-apa. Percuma aku sekolah. Kembali mereka tertipu, lagi ayahku malu, ibuku tertunduk sayu, adikku kini sudah tahu, iparku menangis tersedu.
Aku pindah bekerja, pergi tengah hari pulang subuh. Tak pulang ke rumah sewa, lebih memilih menjadi nomaden dari pada di sana. Hanya sesekali aku kembali, pagi-pagi lalu pamit pergi lagi. Mereka tidak mencegah. Bukankah aku sudah bilang aku bukan apa-apa. Mulai saat itu aku kehilangan definisi rumah sekaligus keluarga.

Kehidupan remaja aku gabungkan bersama dunia kerja. Aku dewasa sebelum waktunya. Aku mengenal dunia lebih jauh, semakin jauh dan terlalu jauh.

Lalu aku mengenalmu. Aku mendapatkan rumah. Walau belum mendapat keluarga, tapi aku mendapat yang tak kalah harganya. Cinta. wahai kau makhluk muda yang manja, sungguh aku mencintaimu. Terlalu mencintaimu.
Itulah juga yang akhirnya menyakitiku. Bukankah sesuatu yang terlalu itu tidak baik. Mencintaimu membuatku abai akan kenyataan kau masih muda, masih bergejolak untuk mencari yang lebih dari apa yang sudah kau punya. Kau ingin mersakan cinta yang lebih dari yang aku punya. Aku pun lalai saat kau berkelana mencarinya. baru tersadar ketika mendapatimu terbaring di atas tubuh setelah saling beradu. Kau membekalkan kenikmatan yang sama pada lelaki lainnya, memberi harapan bagi mereka untuk menjadikanmu rumah, merasakan gelayutan manja yang sama. Kau takkan tahu bagaimana rasanya saat itu, marah tak bisa, menangis tak kuasa, lututku lemah untuk membawa tubuhku segera menjauh.
Sungguh mati aku tak tahu harus apa waktu itu. Bayanganmu bercumbu dengan orang selain aku terus berputar liar di kepalaku. Mataku seperti terbuka walaupun sudah aku tutup. Rasa itu menggambar jelas walau mata ku tidak terbuka.
Sejam setelahnya baru rasa-rsa itu muncul semua. Cemburu, marah, takut kehilangan, membuncah di saat yang sama. Keluar dari mulut hanya berupa suara erangan lemah. Lelah karena ternyata malam itu air mata dari tadi keluar tanpa terasa. Sejam sudah aku menelikuk di kecilnya kamar rumah (sewa).
Kau tentu saja langsung merasa bersalah. Berkemas memakai baju setelah aku melihatmu tanpa busana, hanya saja di atas tubuh yang bukan aku. Entah sebelumnya kau sempat mendaratkan ciuman mesra sebelum berpisah pada lelakimu itu, atau entah mungkin saja kau sempat menyelipkan janji temu untuk kembali membagi desah. Aku tak peduli. Baru saja kau patahkan sepotong hati. Dipikiranku sempat terpikir untuk bunuh diri, yang sedetik kemudian aku tertawakan karena bagaimana bisa bunuh diri, bergerak sesenti saja aku tak kuasa.
Sempurna sudah aku terluka.
Entah bagaimana kau menemukanku, datang ke rumah (sewa)-ku, menangis meminta maaf atas khilaf katamu. Bagaiman aku bisa menolak. Aku tak punya kuasa. Kaulah yang kusebut rumah. Sejauh manapun aku tersesat, hanya padamu akan kembali. Kau. Rumahku.
Dengan segala logika yang tersiksa, aku paksa bepikir ini semua karena kau masih muda. Belum mengerti cara menghargai sebuah cinta. sebesar yang aku punya. Belajarlah sayang, belajarlah menghargainya. Bukankah kau punya cinta yang sama besarnya?
Atau tidak?