Is The End "we're-just-friend-on-the-phone?"


I’m in love with your word
I’m crazy with your voice
But U’re just like a unicorn
Cause We’re just friend on the phone

Imagine the day we’ll meet
It’s like a bride at the first night
No patient, and i want it so right
Just like dark need a light
Only that thing i always dream on
But world remind me u’re just like a unicorn
Cause we’re just friend on the phone
Are we just friend on the phone?

LAIN DI HATI, LAIN DI CERITA


“Trus?” ah, ntah kenapa aku mulai kembali dengan canduku. Rasa penasaran. Ingin tahu sampai setiap jengkal kisah mereka.

“ya, aku hanya bilang kepadanya bahwa aku tak bisa memaksakan keinginanku untuk memilikinya. Aku hanya memperjuangkan cintaku untuknya. Aku rasa dia orang yang baik, dan mmperjuangkannya terasa benar. Hanya sampai batas itu. Aku hanya minta kepadanya untuk membiarkan aku mencintainya.”

“Kau munafik sesungguhnya, kau ingin mmilikinya. Rasa itu aku yakin ada dalam 80% dalam dirimu.” Tapi ini tak kusampaikan. Aku hanya diam, menjadi pendengar yang baik. Dia tak butuh saranku, dia hanya butuh sepasang telinga saat ini. Oh, aku benar-benar terlatih untuk ini. Seperti tim SWAT yang terlatih untuk bergerak dalam keadaan darurat.

“Kau tahu, Han?” aku hanya menoleh ke arahnya dan mengangkat alisku. Bahkan kini aku tak perlu melemparkan kata ‘Lalu’,’ trus’ atau apapun untuk membuatnya cerita lebih jauh. Lebih menyeluruh. Dia mengantar ceritanya kepadaku. “aku dulu seperti orang yang diam-diam memperhatikan jendela rumah yang isinya adalah bahagia, menunggu kapan aku punya celah dan berdoa mereka berpisah. Lalu masuk, mengobati luka dan membentuk bahagia yang lainnya.”

“sekarang?” dia butuh pertanyaan ini.

“Sekarang aku tahu, kalaupun aku tak punya celah untuk lompat melalui jendela itu, biarkan aku mengawasi jendela itu dari jauh, dari jendela rumahku yang aku bangun dalam jarak pandang terjauh.”

“Kau bohong lagi Tio, kau sering kali menyelinap melalui jendela itu, memanjakan wanitanya ketika sang lelaki terlelap. Itu semua kau katakan khilaf. Tapi tak semua salah ada padamu, wanitanya yang membuka gerendel jendela itu, membiarkanmu masuk bahkan mendamba rela menunggu di tepi jendela. Dia bilang itu tak ada salahnya.” Lagi-lagi aku diam.

“aku lelah Han. Aku juga tak ingin terus menyiksa ini” menunjuk dadanya

“kau menikmatinya Tio, kau menikmati memanjakannya walau kau tahu itu salah dari semula. Kau menikmati respon dari wanitamu yang juga wanitanya. Kau menikmati momen kau menyakiti bagian yang kau tunjuk saat ini.”

PUNCAK



Dirapatkannya tangan ke dinding, menggaruk mencari pegangan. Mungkin ini posisi terakhir yang dapat dilakukannya sebelum kenikmatan ini menyentuh puncak. Lelah menggarap dinding yang datar, jarinya memelintir daging kehitaman di ujung buah yang ranum, seolah ingin mempercepat tujuan. Tak sabar. Bukan. Tapi tak tahan. Lelah menunggu.
Darrrr!
Tubuhnya bergetar. menggigil lalu menggeliat dibasahi keringat. Sesekali tersentak, tersengat sisa kenikmatan yang membuatnya bergetar. haaahh, kalau ada yang menusukkan pisau di atas perut ratanya saat ini, berteriak pun sudah tak mampu dilakukannya. Lelah. Tapi bahagia. Kalau dunia bisa senikmat ini, bagaimana surga?
Sudah berapa malam tubuhnya menyatu dengan tubuh yang berbeda setiap kenikmatan yang diraihnya. Entah berapa malam desahannya menyatu dengan suara berat sebagai kombinasinya. Kenikmatan ini tiada habisnya. Semakin hari semakin ingin merenggutnya. Ingin menjadikan setiap kenikmatan dunia menjadi miliknya. Rakus. Dan ini candu. Bahkan ia pun paham tentang itu.
Jangan bicara “berhenti” kepadanya. Karena jawabannya hanya tawa. “munafik bangsat! Jangan hanya bicara. Rasakan sekali saja, dan beri aku cara untuk menafikannya kemudian berhenti mengharapkannya” mungkin itu isi tawaanya.

KARMA

aku baru tau kalo saluran pernafasan jaraknya dekat dengan saluran perasaan, karena setiap kali aku narik nafas, entah kenapa perasaanku yang bereaksi. *asekasek*. every breath is like remind me the pain is real. it's a fact, and like or not, i have to face it.

But, it's funny. how it began and how it ended is so same with my oooold relationship. Hanya posisi peran yang berbeda. tapi itu yang membuat aku percaya kalo Karma itu ada. oke aku memang mengakui aku percaya. so what?  i think Karma is a part of our life. gak perlu menyesali apa yang udah kita lkukan atau mengeluh atas balasan yang kita terima. Just accept it! Learn it!  never do the same mistake or Karma will come back.

How 'bout me?
it's painful but it learns me how to make it to be a happiness
it told me that Newton was right
action equals to reaction
i called it KARMA

How 'bout you?
you are my memory
one of the best of my life

How's your life?
i don't know.
it's yours, not mine
not my territory anymore.

PAARAARAAMPAAAA!!!!

URGENT


Aku menempatkan segala tentangku terlalu tinggi. Menganalogikan kehidupan orang lain tanpa bercermin tentang kehidupan sendiri. Mengomentari sikap tanpa instropeksi diri. Melupakan kebaikan karena hal kecil yang menurutku sebuah kesalahan. Padahal itu hanya menurutku, seorang manusia dengan kualitas rendah.
Aku pantas, itu juga menurutku, bukan berdasar penilaian orang lain. Itu jelas salah. In case, i should do the best that i can. Evrytime, everywhere adn for anyone. Let them know that i can do my responsibility, or more. And the most important, let them decide who i am.



Berhenti membenci
Belajar mencintai
Berhenti mengomentari
Mulai instropeksi
Berhenti bicara
Mulai bekerja
Mulai saat ini
Bukan nanti
#URGENT#

WHAT ARE WE WAITING FOR?


What am i waiting for?
You? Me? We?
Never be a one.
We are in the same side and different side on the same time.
So, what are we waiting for?
Togetherness? Happiness? future?
It might be mine
It might be yours
But it will never be ours
So, what sould i look for?
True Love? She? Them?
There’s no one can give that all
That was you, that is you and always be you
And What  should you look for?
Endless love? Dream? hope?
You know there’s no one can bring it through
It might be me, it may be me, and may be always me
So, what are we waiting for?


POK POS 2012


Ketika kita sampai..
Terkadang kita lupa kisah perjalanannya
Dimana, kapan dan bagaimana itu dimulai
Seringkali pupus bersama semu-nya euphoria

Hey..biarkan ini semua dikenang dengan indah
Sedih, dendam dan luka hanyalah bumbu dari canda, tawa dan bhagia
Biarkan ini bersarang di buku usang penuh cerita
yang ketika dibuka, dengan bangga kita berkata:
“Nak, ayah ada di sana bersama mereka”
Atau mungin..
“Ibu pernah berteriak kencang kepada mereka”
Tapi itu diceritakan dengan sumringah di wajah
Dengan rindu untuk kembali bersama
Membentuk memori yang memang tak ada habisnya. Takkan pernah.

"BUNTU" (gak tahu mau nulis apa)


Sebuah garis berkelip di laptopku dan battery alert di kanan bawah layar menandakan 2 jam sudah aku menatap kosong kepadanya. Tak keluar satu kata pun. Bahkan satu huruf. Ide itu liar beberapa saat yang lalu, bagai tak sabar dikeluarkan satu persatu. Tapi kini hanya sebuah tatapan buntu. Yang tersisa hanyalah cahaya laptop di kamarku yang gelap dan dengung mesin laptop tuaku.
Tua? Ya, tua. Ini merupakan laptop second yang dibeli ayahku dan kini menjadi hak milikku setelah 3 Tahun mengabdi di bawah jari Ayah. Aku biasanya menulis tanpa laptop. Manual. Lebih alami menurutku. Walaupun pada akhirnya butuh kerja keras untuk membaca tulisanku. Tapi aku tak pernah mendapatkan ini terjadi padaku. Benar-benar buntu.
Garis di layar itu seolah tak lelah berkelip memberi tanda kepadaku untuk menggerakkannya, membantunya mengeluarkan kata-kata yang biasanya mengalir begitu saja. Seolah aku tak berguna, tak mempunyai daya untuk mengeluarkan sebuah kata. Aku harus mulai dengan apa?
Garis itu terus saja berkelap-kelip, seperti pelari yang mengambil ancang-ancang menunggu peluit sang wasit. Tapi fase itu tak pernah berjalan, peluit tak pernah berbunyi, pelari tetap di garis start dan terus saja bersiap dengan posisi yang mantap. Garis itu berkelap-kelip dan tak berhenti berkelip, seperti ideku sebelum buntu. Tapi sekarang buntu. Dan hanya buntu.

LANGIT DAN BUMi.... Hujan?


Biarkan Langit yang bercerita, jngan Hujan
Karena Langit begitu terbuka
Bukan Hujan yang turunnya sementara
Karena Langit Hujan ada.
Tapi Aku lupa, hingga hanya Hujan yang aku damba.

Biarkan Langit bercerita
Karena disana ada bintang yang melengkapinya
Ada bulan yang melatari ceritanya
Ada cinta yang tak ada ujungnya

Hujan hanya mengingatkanku pada airmata
Mebawa kenangan dan luka
Walau terkadang menyegarkan, tetap saja itu hanya sementara
Tak seperti Langit yang slalu ada ketika kau menengadah

Langit dan bumi sebenarnya menyatu
Lihatlah dari ketinggian dimana ujung langit menyentuh
Diantaranya hanyalah ruang yang menunggu untuk penuh
Hingga Langit dan bumi menyatu secara utuh