PERANG BINTANG


Hmmm,, gini nih kalau lagi pengen nulis, lagi asik baca bukunya Dewie Sekar yang Perang Bintang pun jadi gak konsen. Ini gara-gara di paragraf dlam buku itu ada kalimat gini “jatuh cinta bukan soal mau atau gak mau”. Tahu maksudnya?
Itu artinya kita tidak bisa mengatur kapan atau dengan siapa kita bakalan jatuh cinta. Dan tahu kah kalian itu yang aku cemaskan saat ini. Seperti postingan blog yang judulnya “Kosong”, harusnya kalian tahu bahwa aku tidak merasakan apapun (read: cinta) kepada siapapun saat ini. Masalahnya entah kenapa saat ini aku sangat amat very merasakan lagi yang namanya cinta. I can say that i need love right now. It’s like emergency for me. Aku tahu ini bakalan terlihat lebay. But, that’s the fact.
Dan ini yang bikin aku kesal ama cinta. Dulu waktu aku  lagi suka sama seseorang, it was going worse day to day. Then, i couldn’t catch my love, never spent time together, and my heart’s broken. Sekarang. SEKARANG  saat aku sembuh dari patah hati selama lebih dr 5 tahun, aku tidak merasakan apa-apa. Mati rasa.
Oh shit,, pasti aku keliatan lebay, alay, galau. F*ck buat cinta!!!!!
Tahu kenapa aku malah lebih nulis di blog daripada curhat sama teman, karena sebenarnya teman aku yang paling akrab dan menjadi “tempat sampah” –ku sudah bisa dijamin bosan dengan cerita yang itu itu melulu. Nah, walaupun curhat di blog  merupakan curhat yang dipublikasikan, dan sekilas terlihat alay but it’s okay for me. Persetan buat mereka yang ngatain aku. Toh mereka gak ngasi makan. (betapa rendahnya hidupku, brarti kalau ada yang ngasi makan, tuh orang bisa ngatain aku sepuas-puasnya).

Dilema Kere

tau seberapa menderitanya kalau anda tidak memegang uang sepeser pun? itu sangat berat.

f*ck buat orang2 gombal yang bilang gini:
aku gak apa2 gak punya uang sepeser pun asalkan kamu ada di samping aku
bullshit tau gak? gak bakalan bisa ngapa2in kita kalau gak megang uang sepeser pun. yahh bayangin aja sekarang, skrg kalian lagi sama pacar kalian, trus duduk berdua di rumah. cuma ngobrol, ditemani air putih. trus begitu selesai kalian cuma ngantar pacar kalian sampai depan pagar, karena kalau ngantar sampai rumah dijamin kalian bakal dorong motor waktu pulangnya. karena apa? karena gak punya uang buat ngisi bensin.

see?!!

trus susah tau gak kalo pas gak ada uang, diajak keluar makan sama teman? galau banget tau gak. sisi kepribadian aku yang sejujurnya "pemakan segala" tentu aja pengen menghalalkan segala cara buat ikut mereka, termasuk menebalkan muka beberapa senti saat minta traktir sama mereka.(bang kesian bang, blum makan pizza 3 hari bang) , tapi sisi kepribadian aku yang sok jaim dan alim yang sebnarnya aku gak erlalu suka ini harus rela bilang "eh, maaf ya. aku lagi ada kerjaan nih" atau "sorry guys, capek nih seharian gak berhenti kegiatannya" or another reason.

nah yang aku heran, sebenarnya aku sejenis atau semacam atau mungkin seekor manusia #kalau manusia punya ekor# (sebenrnya punya ekor di depan *ups) yang sangat sangat sangat dekat dengan kata *BOROS*. punya uang dikit langsung di abisin, dapat honor dikit langsung di abisin, dikasi uang dikit langsung diabisin. coba kalo banyak, kan gak langsung abis.


Umi (emak) pernah bilang jangan ngukur segalanya dengan uang. Aku setuju banget, susah kalau pas mau ngukur panjang meja dengan uang. misalanya panjang meja dosen difakultas hukum untan rata-rata 10 lembar 3 lipatan uang Rp 10.000. kan susah!!!!

tau gak yang lebih galau lagi? waktu kita dilanda DILEMA KERE ini, status kita ialah pengangguran. kalian kira gmpang cari pekerjaan? SUSAH!! sama susahnya dengan nyari kekurangan di wajahnya Angelina Jolie. hmmm ketika kalian dapat gelar sarjana atau diploma, tanpa disadari gengsi didalam diri kita meningkat sedikit ke level atas. mulai pilih2 kerjaan yang sesuai gelar. gak mau kerja di mall. padahal sebenarnya, mereka yang kerja di mall menurutku 80% lebih berpengalaman kerja dari kalian (maaf, kita).

DILEMA KERE ini juga berpengaruh pada peningkatan tingkat Sensitifitas pada diri. senggol dikit, bacok. hahaha. tapi emang bener. bisa dibilang Dilema kere = Menstruasi pada wanita.
misalnya gini, ke warung mau beli indomeie. nah trus uang nya ternyata kurang. dikarenakan saya agak gengsi kalau yang namanya ngutang jadi saya berusaha berngosiasi (read: nawar harga)
aku  : kak, indomie *******(sensor iklan) ini berapa?
PW (penjaga warung): 1400 dek.
aku  : ah mahal banget kak, 1000 ya?
PW  : kamu gak lagi nawar kan dek? >>mulut terbuka<<
aku  : gak kok, negosiasi aja
PW : oohh,, kalo seribu mesti makan di sini dek
aku  : >>muka cerah<< hmmm beneran kak..? boleh deh
PW  : sebntar ya.
2 menit kemudian
PW : nih >> sambil bawa mangkok yang indominya udah segede cacing bunting<< anak saya gak abis makannya tadi pagi.
aku  : >>marah dong ya<< maksudnya apa nih? kakak kira saya gak bisa beli? nih serebu, 400 nya besok.


KOSONG


Bagaimana aku bisa merasa kosong?
Aku kira manusia tak akan pernah kehilangan cinta di hati mereka. But i do. Aku merasakannya saat ini. Aku kosong. Aku berani bersumpah kalau saat ini aku tidak trauma untuk jatuh cinta hanya karena aku gagal sebelum ini. Aku hanya tidak tahu harus jatuh cinta dengan siapa. I am lookin for a thing that i never know what the thing is.
Aku lari kesana kemari untuk mencari tahu apa aku bisa jatuh cinta di setiap tempat aku berhnti. Hasilnya hanya lelah. Aku tidak pernah tahu membuat diriku “benar-benar” jatuh,,bukan jatuh yang direkayasa. Aku sudah lupa bagaimana rasanya jatuh cinta, karena itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Akhir-akhir ini yang aku rasakan hanya “jatuh” (dengan luka, bukan cinta).
Dan percayalah, merasa kosong seperti ini sangat tidak enak jika kalian sedang berstatus pengangguran karena tak ada satu pun hal yang bisa kalian kerjakan sebagai pengalih perhatian. Temanku menawarkan pilihan.
A.  Kau kembali kepada cintamu yang lama, dan mulai merasakan sakit itu.
B.   Go out and find a million out there. And pleaseeeeeeee, don’t be a galauers!
I will never choose A, and i have choosen B and f*ck for my friend because i can find even a one of million like he said. And shit, aku bukan sedang galau. Aku hanya....galau!
Tapi pada intinya aku merasa aneh dengan fenomena ini, bahwa aku bisa merasa sekosong ini. Aku yang dari dulu memiliki pemahaman bahwa setiap manusia selalu diberikan satu cinta yang tidak bakal pernah hilang dalam hatinya. Now i am doubt with my words.
Hanya sekedar saran, bagi orang-orang yang sedang patah hati, jangan pernah kalian percaya bahwa kalian tak akan pernah bisa melupakannya. Percayalah!!! (karena aku sudah mengalaminya) cinta bisa hilang. (read: hilang tanpa bekas) jadi saranku, sebelum mereka benar-benar hilang tanpa bekas cari cadangan. Find out!


menarilah (dengan hati) by TIKA

Lewat tangan Bergeraklah
Lewat Kaki Melangkahlah
Lewat mata Bicaralah
Lewat senyuman Ekspresikanlah
Lewat lekukan Lengkapilah
Dan dari Hati untuk Hati dengan Hati Maka Menarilah
Menarilah dengan hati





klik link >>> alamat facebook penulis

DIA Yang DIABAIKAN (JUARA 1 PEKSIMIDA KALBAR 2010)


Mencari bukan menari
Bergerak dengan hitungan yang pasti
Harapan adalah motivasi
Menghalau diri agar tak berhenti
Karena lelah dengan sesuatu yang tak pasti

***

Dia bergerak dengan keyakinan dan kepastian. Terus bergerak tanpa meninggalkan kesan akan berhenti dan terus bertahan. Nanti. Suatu saat nanti dia pasti akan berhenti. Aku mengatakan itu dengan keyakinan dan kepastian yang sama. Aku yakin suatu saat dia akan lelah karena orang tak memperhatikannya, karena orang melupakannya, karena orang tak pernah tahu cara untuk menghormati dan menghargainya.
Suara langkahnya begitu teratur bagai mempunyai irama yang indah di tempat hampa suara. Tapi begitu mencekam saat kita mengikutinya. Aku ingin berada di keadaan saat aku tak sadar akan kehadirannya karena begitu aku tersadar, tatapannya marah dan bagai menghimpitku menjadi kaku dan tidak dapat berbuat sesuatu. Dan itu membuatnya semakin marah, karena dia ingin aku bergerak, sepertinya. Tak pernah berhenti.
Aku berlari untuk menghindarinya tapi aku selalu bertemu dengannya, bagai tertanam di dalam tubuhku, bagai serpihan kayu di dalam dagingku, sakit bila mengabaikannya.
‘Cobalah berpikir!’ perintahku terhadap diri sendiri.
Aku berpikir apa yang ia ingin aku lakukan. Aku menganalisa setiap pori dari suatu tingkah. Aku berteriak di dalam hati karena takut terdengar olehnya. Aku berteriak karena bosan tak menemukan jawabannya.
Aku putuskan untuk berjalan mencari jawaban. Abaikan bunyi langkahnya di belakangku. Lupakan teriakannya yang terus mendengung di telingaku.
Apa? Apa yang harus aku perbuat untuk menghapus kesalahanku?’ batinku. Tapi sebelumnya, apa salahku? Bagaimana aku memperbaikinya kalau aku tak tahu apa kesalahan yang kuperbuat?
Aku ingin bertanya padanya tapi aku tahu dia tak akan menjawab. Dia begitu dingin, kaku, dan bisu namun tetap bergerak. Aku ingin menanyakannya pada orang lain tapi aku juga tahu ini antara aku dan dia saja. Tanpa perantara.
Kuputar arahku di pusat kota, coba susuri jawaban di bagian-bagian terpecilnya. Mungkin aku dapat menemukannya telah terjatuh di tanah yang basah atau di dinding rumah yang entah dimana, yang bahkan aku pun tak tahu arahnya. Mungkin aku akan menemukannya walaupun aku pikir akan sia-sia.
Lagi-lagi aku mendengar suaranya, walau begitu jauh, tapi tertanam di kepalaku. Dia terdengar marah. Lagi. Karena aku telah berbuat salah. Tapi tak pernah mengatakan apa salah dan cara aku memperbaikinya. Dia memaksaku terus berpikir dan berpikir.
Aku mulai lelah, aku mengeluh tanpa suara. Aku pulang ke rumah dengan pasrah dan menundukkan kepala saat melewatinya. Aku mencoba menahan diri dan menyimpan tekad untuk mencari kunci dari seribu jawaban yang terus berkelana. Akhirnya aku menyerah pada lelah.

***

Aku bangun dan lagi-lagi aku melihatnya bergerak pada tempat yang sama, dengan langkah dan irama yang sama. Apa dia tak pernah lelah? Entahlah, aku tak ingin memikirkannya. Aku sudah lelah memikirkan kesalahanku padanya. Aku tak lagi peduli padanya. Lebih baik aku mengabaikannya. Bukankah ketidakpedulian lebih mudah menimbulkan kebahagian walau harus mengabaikan suatu kenyataan bahwa ketidakpedulian adalah simbol dari keegoisan?
Hari ini aku ingin mengelilingi kota dengan sepeda, melihat indah setiap sudutnya dan mengenal kehidupan di dalamnya. Kuputuskan untuk pergi segera, tapi sejujurnya dengan harapan ingin menemukan jawaban walau kecil adanya. Aku tahu harapan itu masih ada, menebar di segala penjuru dunia, hanya tinggal mencari dan bagaimana memanfaatkannya.
Aku jelajahi pasar. Aku menemukan seorang ibu yang membawa barang di tangan kirinya dan menggendong anak yang tak bisa ditinggalkannya di rumah karena suaminya mencari nafkah.
Aku melihat beberapa orang berteriak, orang yang berjalan ke sana kemari tak jelas tujuannya karena mereka pun bingung akan kemana. Lalu aku terpaku pada seorang lelaki tua yang diam tanpa suara. Dia membeku untuk sementara. Diam dan menatap ke depan walau tak terlihat fokusnya. Matanya agak memerah dan hitam disekelilingnya. Agaknya dia kurang tidur. Aku ingin bertanya apa yang ada dalam pikirannya tapi berhenti saat melihat bibirnya bergerak, meneriakkan kata-kata berantakan dan tak ada halusnya. Ternyata minuman itu yang mempengaruhinya.
Aku heran kepadanya, bagaimana ia sempat memanjakan dirinya dengan minuman keras sedangkan istri dan anaknya mungkin sedang mengharapkan nafkah darinya. Atau bagaimana dia bisa bersantai dengan dosa padahal akhir dunia telah mendekatinya?.
Lalu aku menggelengkan kepalaku, ‘tidak! Aku belum tentu lebih baik darinya’. Aku edarkan pandanganku kesana kemari dan sesaat keatas, ke langit biru yang membentang luas. Sebuah “burung besi” melintas dan bergemuruh membelah langit biru dan sesaat menyita perhatianku. Aku terhanyut dalam pandangan itu dan seperti terbangun dari lamunan ketika pesawat itu hanya berbentuk titik di kejauhan.
Aku tersenyum saat mengingat bahwa menerbangkannya adalah sebuah mimpi. Dulu. Bukan kini. Dan hanya menjadi ilusi.
Aku mendengar suara itu. Suara yang sangat kukenal dalam hidupku. Suaranya seperti menahan amarah, menggeram walau selalu dengan irama yang sama setiap saatnya. Suara itu bergerak dengan hitungan yang sama tapi mampu menimbulkan resah. Karena apa? Dengan siapa?. Sepertinya itu suatu tanda untukku karena aku terdiam begitu lama.
Aku kayuh lagi pedal sepedaku menuju gang-gang dengan gedung tua di sekelilingnya. Aku menikmati kesunyian disana. Hanya beberapa orang yang terlihat di sana. Aku titipkan sepeda di salah satu rumah warga agar aku lebih leluasa. Aku duduk di atas susunan bata untuk sekedar melepas lelah. Tapi tak begitu lama karena aku tak mau mendengarnya marah, walaupun aku masih penat dan berkeringat.
Aku bergerak melewati serentetan rumah dan lagi-lagi tepaku ketika melihat sekumpulan pemuda yang dengan hikmat sedang menghirup bau zat yang dapat membuatnya terlena, bebas dan gembira.
Ironis. Gembira didapat dengan cara yang salah. Sungguh penghabisan masa muda yang sia-sia. Berharap mencapai masa tua yang mungkin saja tak akan dirasakannya.
BINGO...!!!
Rasanya aku melihat kata itu dengan lampu menyala di atas kepala.
Bodoh aku tak sadar saat jawaban yang aku cari begitu tepat di depan mata. Aku berlari mengambil sepeda dan dengan cepat mengayuhnya menuju rumah. Sudah lewat tengah hari ternyata. Berarti satu lagi kesalahanku yang aku perbuat.
Salahku adalah aku telah mengabaikannya, melupakannya, bahkan tak menghargainya. Begitu sampai di rumah, kuparkir sepeda di bawah jendela dan berlari ke ruang tengah.
­Aku tatap jam tua di dinding rumahku, yang sampai sekarang masih terus bergerak dengan langkah dan irama yang itu-itu saja. Setiap gerakan jarumnya mengurangi setiap detik yang harusnya tak terbuang sia-sia. Aku begitu gembira karena menemukan jawabannya namun juga malu karenanya.
Selama ini berapa banyak waktu yang terbuang dengan sia-sia. ternyata perintahnya hanyalah agar aku memanfaatkanya. Ia tak ingin diabaikan, dilupakan ataupun tak dihargai walau tak ternilai harganya. Bukan untuknya, tapi untukku.
Aku menatapnya, dia masih terlihat marah. Aku bingung namun tersadar begitu tahu apa yang dimaksud olehnya. Dia ingin aku tak menyesali bagian dirinya yang tersia-siakan tapi memanfaatkan apa yang tersisa darinya.

Banyak Yang Nanya...

di cerpenku ada kalimat kayak gini

aku cinta karna aku suka..
bukan karna aku ingin...



maksudnya apa?

menurut aku...
kt gak prnah d berikan ksmpatan utk memilih dengan syp kite jtuh cinta...
jd faktanya, ada sebagian orang yang gak ingin mencintai karena mencintai org yg salah..
tapiiiiiiii....
walaupun cnt sm org yg salah, cnt sm org itu tu menjadi kebiasaan tiap hariny,, sadar atau gak, , kt lbh suka dan gk prnh nyesal cnt sm org (walaupun org yg salah), drpd ndk prnh jtuh cnt sama sekali.krn sesungguhnya "DIA" membuat hidup kita lebih berwarna.^__^

SASTRA YANG BUKAN SASTRA

Tentangnya selalu tak ada kata…
Abstrak…
Kehilangan sebuah awal…
Tak pernah mencapai sebuah akhir…
Mencintainya melalui tulisan…
Memujinya dengan segala kiasan..
Mencurahakan segalanya tentang dia..
Akan kehilangan kata..
Bahkan kata “berhenti” untuk menghentikan aku menulis. Tentangnya.
Selalu ada cerita, sulit melalui kata-kata..
Maka hanya aku yang memahami rasa ini..
Takkan pernah terbagi, bukan tak mau tapi tak bisa.

Maka dia adalah sastra yang bukan sastra.

1

diamku bukan untukmu,,
aku bukan pelit untuk bersuara
percuma,,
suara yang terseret pun hanya memastikan sebuah kebohongan,,
membiarkan huruf itu di dalam bayang, hanya usahaku membuktikan sebuah kebenaran,,

aku hening dalam lakonmu,,
biarkan kau melakukan pola yang harusnya kau pahami,,
aku bukan terdiam, tapi memilih untuk diam,,
aku hanya lelah melihatmu bersama malam..
kamu meng-hitam

pilihanmu bukan antara aku dan janjimu..
karena memang tak ada janji..
ini semua hanya tentangmu..

Note ini dibuat ketika tidak menemukan nama saya di daftar pemenang LMCR Lip Ice 2010

Malam ini aku kecewa. Aku kalah. Aku bimbang untuk melangkah, malu kalau menyerah. Kemenangan itu bukan untukku. Walau aku memimpikannya, berharap tertera namaku walau hanya berada di barisan terakhir daftar-daftar itu.
Aku menekan tombol close di ujung tampilan komputerku. Cara melampiaskan kekesalan karena luluhnya setiap harapan itu.
Apa yang kalian katakan? Sabar? Berjuang? Sampai kapan! Tak perlu kalian jawab. Itu sebuah pernyataan, bukan pertanyaan. Ungkapan kekesalan.
Amarah ku mereda, kubuka lagi daftar itu.
Bodoh! Menyiksa diri sendiri. Amarah itu kembali. Kubiarkan dentuman lagu dari winamp di komputerku menghipnotis kemarahanku.
Aku sadar. Dan aku tidak malu terhadap perasaanku. Itu yang namanya manusiawi. Sebagai balasannya. Aku menulis.



                           BELUM ADA JUDUL

Mata itu. Redup. Perlu kalian tahu, dulu, hari yang lalu, matanya tak bercerita seperti itu. Mata itu coklat sarat dengan keakraban yang hangat. Keindahannya dilindungi sebaris bulu mata yang diciptakan untuk kaum sempurna. Tapi mata itu berduka. Mataku berkaca-kaca melihat mata itu mengeluarkan air bening yang aku tahu itu merupakan buah dari pahitnya kenyataan.

Aku mengulurkan tanganku, ingin menepis bulir-bulir air yang sekarang mulai menetes di pipinya. Dia pun memberikan ulurannya, tangan kami membentur sesuatu. Bidang datar. Kesadaran menggamitku, akulah sang pemilik mata.

Aku menatap refleksiku. Begitu kuyu. Aku menangis tanpa peduli suatu saat mungkin saja air mata ini akan habis. Entah berapa lama aku menatap cermin ini sampai-sampai aku bisa melihat noktah kecil menyerupai laba-laba di sudut kanan bawahnya. Kupandangi cermin itu. Beralih ke sesosok tubuh yang menggeletak di samping pahaku. Aku pembunuh. Lalu aku berteriak, tapi tak lagi mengeluarkan suara. Hanya desahan parau yang keluar.

Tubuh itu sudah membiru akibat genangan air di bak yang kerannya tak berhenti mengeluarkan air, serupa dengan kakiku yang keriput dan membiru.

Aku membunuh ibuku. Lalu untuk apa aku hidup? Aku tak ingin hidup. Aku hidup karena ibuku. Aku membunuh ibuku sama saja aku membunuh tujuanku hidup. Membunuh kehidupanku.

kenapa kau begiu jenius, heh?” teriakku ke wajah di bidang datar itu. “kalau kau membunuh ibumu, harusnya kau bunuh dirimu?”
Semua terdengar masuk akal. Membiarkan tubuh itu terjatuh, sama saja menjatuhkan tubuhku sendiri.

Mataku. Di cermin mata itu tertawa. Senang karena menemukan rumusnya. Aku mendengar suara desah parau terputus-putus. Lagi-lagi aku terlambat menyadari kalau itu tawaku.

Aku ingin berbaring di sisi ibuku. Tak peduli genangan yang kini menjadi kubangan, aku memeluk ibuku, sekaligus korban kejahatanku.
Aku jahat, aku tak seharusnya hidup kan? Aku lebih baik mati kan? Aku senang menemukan alasan-alasan untuk tidak hidup. Senang menemukannya karena lelah dengan rasa bersalah.

Aku cium keningnya yang memar karena luka. Aku meringis saat mengingat memar itu mengeluarkan darah. Membuat genangan air di bawah kami sebelumnya dihiasi warna merah. Aku pembunuh! Harusnya aku tak perlu meninggalkan ibu, tapi ibu yang menyuruhku. Dan harusnya aku membantah perintah itu. Bagaimana aku bisa meninggalkan ibuku di saat-saat fisiknya mulai rapuh di gerogot sang waktu. Aku malu. Lebih malu saat aku terpikir kalau ini bukanlah salahku.

Aku pembunuh. Aku berteriak menggila, berdiri menjauh takut gerakanku membuat ibu terluka. Namun kaki itu pun lelah setelah bersimpuh sekian lama, aku terjatuh. Di waktu yang singkat itu, aku berdoa untuk mati. Namun masih menemukan diriku menatap ibu dari tepian cermin tempat aku terjatuh. Aku terkejut saat melihat genangan itu kembali merah. aku topang tubuhku mendekati ibu, kuperiksa setiap jengkal tubuhnya. Aku melukainya. Aku melukainya. Lagi.

Tidak ada. Tidak ada bagian dari ibuku yang mengeluarkan cairan panas itu. Aku tidak menemukan sumbernya. Untuk sementara aku lega. Aku memeluk ibuku sekilas. Tanpa sengaja aku melihat gerakan dari sudut mataku, refleks yang lambat mengalihkan pandanganku ke arah gerakan itu. Terkejut aku mengamati kembaranku di cermin menjadi banyak. Darah menetes dari tempat momentum benda yang menghantamnya. Siapa yang melempar cermin itu? Aku menatap ibu. Tak mungkin. Ibu sudah mati. Aku yang membunuhnya. Bagaimana mungkin ibu yang melempar kaca itu, bahkan kalau ibu marah kepadaku karena aku membunuhnya. Aku menertawakan kekonyolan pikiranku.

Atau mungkin saja aku takut mengakui kemungkinan itu? Mungkin saja ibu marah. Memang seharusnya dia marah. Dia pantas marah kepada pembunuhnya. Seharusnya aku mendampinginya setiap saat tapi aku membunuhnya dengan meninggalkan ia pergi. Bukankah harusnya aku menjaga? Bukankah artinya ini salahku? Aku membunuh. Tangis itu pun kembali.

Aku tak berdaya lagi. Aku biarkan tubuhku jatuh di genangan itu. Aku gerakkan kepalaku ke samping. Aku ingin melihat buah dari kejahatanku. Orang yang sangat aku sayang. Genangan itu memerah di sudut mataku. Lalu pandanganku mengabur. Aku tersenyum menuju kematianku.


@cafe 7co podomoro.
jadi pengagguran kayak gini ternyata. tidur, makan, keluar, mutar-mutar, internetan, tidur, makan...
sekarang lagi menjalani fase internetan dengan seorang teman menyerupai batu. hmm. it's okay. belom butuh teman ngomong, cuma lagi butuh teman nongkrong, supaya gak kelihatan hopeless and gak punya teman. :(

semoga mulai hari ini bisa posting di blog setiap hari. apapun. media menyalurkan cerita, soalnya kalau diliat-liat teman curhat aku dah pada bosan dengan cerita yang dari jaman SMA sampai sekarang cuma punya satu objek.

hmm, tapi jadi pengangguran ada enaknya. it's like the time when i feel so free, kecuali free dari pertanyaan "sekarang kerja dimana can?" atau "udah kerja can?" atau semacam nya lah. tapi diluar dari pertanyaan itu, aku senang. banyak yang terjadi dalam masa-masa ini. mungkin kalau mood nulis dan inspirasinya ada, di bikin cerpen lah. novel kalau bisa. puisi paling gak. atau curhat di blog paling paling paling nggak.

pagi ini emas
langit dari timur bagai di sepuh
layaknya penutup dari subuh
bagai pembuka dari pagi yang baru.

Their Luck is Not Mine

i wanna be like others
touch the stars without a stair
just stand up and put my hands up
then i touch the star. just with my luck.
 
they make me so envy
how can they born so lucky
just make a spinning and girls will cheering
just wishing and that's it.. it will be happening

hey God,, why didn't You put me the Line
the same Line with them who always get their want
but now i just can say "hhmmm okay God, we'll see when i'm on that Line..
...and i dont want THAT Luck..." Cause Their is not Mine.


NB: kalau bahasa inggris nya benar, i wanna make it be a song"

MIMPI

sudah tiga hari ini sebelum aku bangun dari tidur, aku melihat sebuah visi yang sama. sebuah latar putih dengan sebuah gunting, boneka lusuh dan sebuah daun kering berjajar di tengah-tengahnya. aku mngenal boneka itu. aku tahu pemiliknya, punya anak tetangga sebelah. lalu kenapa harus lusuh dan kenapa harus boneka. FREAK!!!

KAMAR 23



Rombongan kami baru saja sampai di hotel Hanura Ngabang, Kabupaten Landak. Ini perjalanan pertamaku yang tidak dipertanyakan oleh orang tuaku. I am free now. Kuliah telah aku selesaikan, liburan ini salah satu bentuk refreshingku, walaupun kami ke sini masih dalam rangka menggarap tarian untuk pembukaan pramuka.
Aku dan bang jhoni mendapat kamar nomor 23. Nomor favoritku. Aku ulang tahun tanggal 23. Ah, tidak penting. Hmm…akhirnya aku sampai di atas pmbaringanku. Senang setelah 5 jam perjalanan. Untung bulan puasa telah lewat, jadi aku bisa minum kalau mabuk daratku kambuh.
Aku salah satu manusia yang takut sama hal gaib. Antara percaya atau tidak, takut takabur kalau bilang tak percaa tapi takut syirik apabila percaya, walau sebenarnya aku sering maengalami hal itu beberapa kali.
Seperti malam ini, aku sudah dua kali mendengar ketukan di jendela kamarku. Aku masih memiliki keberanian untuk menyibak tirai jendela itu dan tidak melihat apa2.
Kami keluar eberapa jam menuju SMA 1 Ngabang untuk melatih gerakan tari yang akan dibawakan untuk acara nanti. Dan kembali sebelum matahari terbenam.

di dnia ini hanya 2 tempat cerita yang tak pernah terbongkar isinya..
diri sendiri dan Tuhan.
jangan pernah percayakan seluruh rahasiamu kepada orang lain, walaupun itu sahabat terdekat atau keluarga mu sendiri. suatu saat mereka akan berada posisi yang berlawanan dengan kita. mereka siap berbalik menyerang kita. Rahasia2 itu merupakan katu As bagi mereka.
bukan karena mereka tak setia untuk menjadi bagian dari hidup kita, namun karena kesalahan kita. baik kata maupun tingkah.

Kekuatan Dalam Kelemahan

aku benci tubuhku yang lemah. seolah menyerah bahkan sebelum kalah. aku benci dengan kondisi seprti ini, dikasihani , harus dibantu walau hanya ingin berdiri. aku lebih benci melihat cairan dari kantung yang menetes ke tubuh yang terhubung dengan besi. tapi saat ini aku hanya bisa berganti posisi. ke kanan atau ke kiri.

sesaat aku mulai merasa kehilangan jari kelingkingku, jari manis, sampai ibu jari. Selang beberapa waktu merambat ke seluruh tangan kiri. Mati rasa. Ya Allah, matikan juga hati ini. Kebalkan hati ini agar tak terus merasa bahwa Engkau tak adil karena memberikan kelemahan ini. Kebalkan juga hati ini, karena pada saat-saat lemah dalam penyakit yang Kau berikan ini pun, aku masih merasakan sakit yang sama. Sakit karena mencinta.

 ****

Mata ini tak bisa dicegah untuk mengagumi karya tuhan yang indah. Mata ini pun memiliki system kerja tersendiri yang tak bisa kujaga untuk tak memperhatikannya. Tarikan itu terlalu kuat, seperti magnet yang berbeda kutub dalam jarak dekat.

Dia berbeda dengan caranya, dan aku pun punya cara tersendiri mengaguminya,hanya berdiri dari satu sisi dan menjaga spasi di antara kami. Aku tak pernah mengakui kalau aku telah jatuh cinta, aku takut mengakui itu. Aku takut jatuh cinta. Aku takut salah jatuh cinta.

Apa yang dinamakan dengan cinta?
Hampir setiap orang memiliki definisi yang berbeda tentangnya
Banyak cerita yang menurut mereka adalah bias dari cinta
Ada yang bilang cinta itu rasa
Ada juga yang bilang cinta itu abstrak, tidak pernah tahu apa rasanya.
Pernah dengar kalau cinta itu buta
Tapi pernah juga  dengar bahwa cinta berasal dari mata lalu turun ke hati
di sebuah film bilang bahwa cinta itu sahabat,
tapi lebih banyak lagi film yang mengangkat tentang cinta pada pandangan pertama.
Pemusik banyak yang bilang bahwa cinta penuh nada
Namun mengapa banyak yang kesepian karena cinta
Pujangga bilang cinta itu karunia, telah ditentukan Yang Maha Kuasa
Lalu bagaimana mensyukuri ketika salah jatuh cinta?

Aku ingin ketika datang saatnya aku jatuh cinta, aku hanya jatuh tapi tanpa luka. Tapi semenjak kapan Tuhan pernah memberi kesempatan kepada makhluknya untuk memilih cintanya sendiri. Maka sebenarnya aku telah jatuh cinta kepadanya, dan mulai membuat luka itu sendiri dengan terus menatapnya. Memperdalam luka dengan merindunya.
Saat ini aku penuh cinta, tapi aku ragu untuk membagi itu kepadanya. Setiap perhatian yang aku berikan selalu sebanding dengan besar harapan yang aku inginkan. Semakin besar harapan itu semakin besar pula kehancuran yang akan kurasakan. Bukan salahnya, tapi resiko yang harus aku terima.

Saat ini aku hanya bisa menikmati setiap momen nya. Kagum, berharap dan terluka, kagum lagi, berharap lagi, kemudian terluka lagi. Begitu seterusnya. Tapi tahukah kalian bahwa aku benar- benar menikmatinya. Bahwa kebahagiaan terselip di setiap momennya.

 ***

Aku sedih ketika dia sedih, aku terluka saat dia patah hati, aku bimbang saat dia sakit. Tapi aku juga menangis ketika dia jatuh cinta. Aku marah ketika dia bahagia bukan karena ku. Aku kecewa hanya mendapat sisa dari perhatiannya.

Aku ingin menyaLahkan Tuhan...
tapi hati kciLku berteriak, "Hey, Tuhan tak pernah saLah...!!!"
Lalu kenapa aku yang harus mengaLAminya..?
"Karena kamu bisa mengatasinya"
LaLu kenapa aku tak dibri cara?
"Agar kamu berusaha"
LaLu kenapa ada derita?
"Agar kau dpat menghargai suatu kebahagiaan.."

Untuk malam yang kesekian kalinya, airmata ini mengalir tanda batas kelelahan manusia yang biasa. Manusia dengan garis batas kesabaran yang rendah. Aku bukan tak punya tempat menumpahkan segala apa yang aku rasa. Aku punya teman terhebat yang selalu sedia.Tapi aku tak bisa bercerita, lingkaran itu menghasilkan kejenuhan. Bercerita tentangnya merupakan “Topik panasku” yang membosankan.

Tapi aku menemukan pengganti mereka. Aku menjadikan diriku sendiri untuk teman bercerita. Lebih lega dan lebih leluasa. Lama aku berkutat dengan kesedihan, sedih karena tak pernah berhasil mendapatkan cinta, sedih karena aku pun tak pernah bisa berhenti mencintainya.

Lalu Aku mempelajari sesuatu yang berharga, bahwa hatiku cukup luas untuk menyimpan satu cinta. Aku tak perlu berhenti untuk mencintainya. Aku hanya perlu memperkecil porsi cintaku kepadanya lalu letakkan cinta itu di salah satu sudut hati kita.

Biarkan cinta yang lain mengisi sudut satunya, sekecil apapun itu, biarkan ia bersarang disana, perlahan membangun isatana, memperluas lahannya di hati kita. Jadi aku tetap bisa mencintai orang lain sekaligus mencintainya, dengan cara yang berbeda.

Lunar eclipse. 16 Juni 2011

Timeline twitter, status facebook dan segala jejaring social lainnya dipenuhi dengan fenomena alam malam ini. Termasuk aku. Aku juga sedang menunggu bulan itu tertutup sepnuhnya. Menanti moment yang bagi beberapa orang sangat indah namun tak ada artinya bagi beberapa orang lainnya. Aku mengagumi cara kerja alam. Terutama hujan.

Sebentar-sebentar kepala ku mendongak ke atas.  Memastikan setiap moment ini aku lihat dengan jelas, mencari keistimewaan dibalik langkanya fenomena ini. Sepertinya cuaca memberikan keleluasaan tersendiri bagi penikmat alam melihat langsung ketika posisi bumi hampir sejajar dengan bulan dan matahari. Aku pernah baca mitos tentang gerhana bulan ini, kabarnya orang-orang jaman dulu beranggapan bahwa gerhana bulan itu terjadi karena adanya batara (raksasa) yang melahap sang bulan dan untuk menakut-nakuti sang batara,  banyak orang orang yang memukul lesung secara bersamaan agar sang batara memuntahkan kembali sang bulan seperti semula.

Salah satu mitos ada yang menyebutkan bahwa jika sedang terjadi gerhana bulan bagi yang ingin cepet tinggi mesti lompat-lompat dan bergantungan di pintu supaya kita bisa cepet tinggi. “Dasar Mitos” (sambil lompat-lompat *eh?). atau mitos tentang naga di negeri china yang akan menelan bulan. Ataupun mitos lainnya.

Terlepas dari semua itu, aku memiliki misi tersendiri malam ini. Aku penasaran dengan perkataan seseorang, 

“tahukah kau bagian terindah ketika gerhana bulan?”
“ketika bulan tertutup penuh?” Jawabku ragu
“itu indah tapi ada yang lebih indah. Adalah ketika melihat proses bagaimana bulan itu kembali bersinar”
“Dimana letak indahnya? Menunggu bulan itu tertutup saja kepalaku pegal, apalagi harus menunggu sampai gerhana itu benar-benar selesai.”
Dia hanya mengangkat bahu.
“lalu fenomena apa yang terjadi saat proses itu?”
Dia hanya tersenyum.

Sepuluh menit berlalu, bulan seperti kue yang mulai digerogoti bagian tepinya. Dimana letak keindahan bulan itu? Bukankah bagian terbaiknya adalah ketika bulan itu gelap secara sempurna? Karena itulah yang dinamakan gerhana?

Aku tak pernah ingat ada mitos tentang fase bulan setelah gerhana. Bahkan menunggu keistimewaan dan kelangkaan yang pasti pun kini sudah mulai membuatku bosan apalagi menunggu bulan itu membuka lagi atau menunggu bulan itu kembali dimuntahkan oleh Bhatara atau Si naga.

Aku membayangkan mana mitos yang benar, antara mitos China dan mitos Indonesia. Atau mungkin kalau mitos itu aku gabungkan keduanya, ketika Naga mencakar Bhatara Sang Raksasa ketika melawan sang raksasa memperebutkan Sang Bulan. Bhatara tak mau kalah, keris andalan pun dikeluarkan untuk mencukur jenggot naga. Perkelahian pun tak terelakkan, terjadi pergulatan yang panas antara Naga China dan Bhatara, sampai-sampai membuat mereka lelah dan sepakat untuk membagi bulan menjadi dua, dan menelannya ditemani air kopi.

aku mulai melantur.
Akhirnya moment itu datang, ketika bulatan kuning pucat tertutup sepenuhnya dan meberikan warna jingga indah dalam balutan suasana malam yang cerah. Aku ingat cerita tentang purnama, purnama jingga tepatnya. Ketika sepasang kekasih yang terpisah jarak menatap ke atas langit malam bulan purnama dan menyaksikan bagaimana bulan itu bersinar di situlah keistimewaan itu tersembunyi. Jika sepasang kekasih itu melihat bulan yang berwarna kuning pucat maka sebenarnya mereka bukan lah pasangan sejati. Namun jika yang dilihat adalah Purnama yang berwarna jingga maka mereka adalah sepasang kekasih sejati yang saling merindu. Dan lagi-lagi itu hanya cerita khayal yang sempat aku percaya. Cerita khayal Purnama Jingga.

Aku mendongak menatap seseorang di sampingku:

“apakah proses yang kau bilang itu juga mitos?”
“ya, itu mitos yang aku percaya untuk diriku sendiri. Ada sesuatu yang aku pelajari dari situ.”
“apa?”
“aku adalah pengagum Tuhan dalam penciptaan alam, bagaimana Dia memberikan mekanisme sempurna dalam setiap pergerakan barang ciptaannya. Aku belajar dari setiap fenomena indah itu.”
“lalu apa yang kau pelajari dari keindahan gerhana? Aku tak menemukannya selain fenomena langka yang tak lebih bagus dari purnama. Aku menikmati melihat purnama yang bersinar terang”
“butuh waktu yang lama kita dapat melihat ketika bumi, bulan dan matahari berda pada posisi sempurna atau berada pada daerah umbra[1]. Butuh wktu yang lama pula ketika bulan, bumi dan matahari untuk kembali bekerja sendiri-sendiri. Bagiku, butuh waktu lama untuk mendapatkan sesuatu yang berharga dalam hidup ini, butuh waktu lama pula untuk merelakan ketika sesuatu yang berharga itu hilang dari diri.
Tapi kita melupakan bagian terbaik dari kehilangan tersebut. kita merelakan itu demi sesuatu yang lebih berharga walau dalam waktu yang lama. Sama seperti ketika bulan, bumi dan matahari bergerak menyingkir dari posisi sejajar dan mengikuti tugas masing-masing, bulan mengelilingi bumi dan bumi mengelilingi matahari. Bagian terbaiknya adalah ketika dapat melihat sinar itu kembali. Sempurna. Tanpa noda atau noktah dari bayangan gelap apapun.
Begitu pula tentang dirimu. Butuh waktu lama untuk menaklukan kebekuan hatimu sehingga aku mencapai fase dimana aku dapat duduk di samping mu malam ini. Fase sempurna. Aku melihat salah satu karya Tuhan yang begitu indah. Tapi aku harus siap kehilangan kamu jika memang itu yang harus terjadi dan aku harus rela jika itu lebih baik untuk dirimu. Harus rela untuk melihat mu bersinar. Dan aku yakin butuh waktu lama untuk merelakan kehilangan karya Tuhan seindah ini.”

Aku terpana.

“Kalau seperti itu maksudmu, biarkan aku sedikit egois malam ini. Ya Tuhan, jika malam ini aku meminta untuk menghentikan moment gerhana bulan ini untuk selamanya, aku tau itu akan berlebihan. Jadi aku minta biarkan aku berada pada fase sempurna bagi orang disampingku ini. Aku tidak ingin bersinar lebih jika harus bersinar tanpa dia disampingku. Biarkan aku menjadi gerhana bulan untuk selamanya.”

[1] Umbra adalah bayangan inti yang berada di bagian tengah sangat gelap pada saat terjadi gerhana

NArkotika

Kisah Seorang pemuda
yang dibilang penakut bila tak mencoba
cicipi hidup yang katanya menggoda
dengan segala harta bernama narkoba

pilih jalan hidup yang tak ada arah
habiskan masa muda yang sia-sia
nantikan masa tua yang mungkin tak pernah ada
dan tanamkan dosa untuk beli tiket neraka..

hanya selinting, atau sebungkus kecil..
hanya sebatang, atau satu kali hirupan..
hanya akan berhasil dalam nuansa bahagia sementara
efek semu dengan menyamarkan bahaya

merusak diri hingga ke akar-akarnya.

tanpa judul 4

aku begitu gelisah
antara nyata dan maya
antara fakta atau khayalanku saja

aku benci fakta tapi tetap ada
khayalanku pun hanya sebatas asa

lalu bagaimana kalu iya?
 takkan pernah bisa berubah
kalaupun bisa tetap membekas jejaknya

dan bagaimana mereka?
apa aku tetap air bagi mereka
atau aku minyak yang berbeda partikelnya
atau kemudian aku tak ada

tanpa judul 3

Sesal...!

Satu kata yang kubenci

Karena selalu hadir setelah semua terjadi

Tak bisa diulang kembali

Hingga buatmu lepas kembali

Tanpa negosiasi...


Cinta...!

Tak harapkan komisi

Tapi pertaruhkan hati

Hanya bermain di satu siklus mini

Pertemuan dan berakhir lagi

Bersemi lalu patah hati

Tak pernah abadi

Selalu kehilangan jati diri

Dialog

Aku ingin menyaLahkan Tuhan...

tapi hati kciLku berteriak, "Hey, Tuhan tak pernah saLah...!!!"

Lalu kenapa aku yang harus mengaLAminya..?

"Karena kamu bisa mengatasinya"

LaLu kenapa aku tak dibri cara?

"Agar kamu berusaha"

LaLu kenapa ada derita?

"Agar kau dpat menghargai suatu kebahagiaan.."

"Apa kau pernah mengingatNya waktu kau bahagia?" tanya hati keciLku

Kadang-kadang

"Apa kamu benar2 berusaha?"

Menurutku Ya.

"apa kamu sudah kehabisan cara?"

Ntah Lah..

" Kenapa kamu terdengar ragu?"

Aku tidak tahu..

...............

................

.................

SUNYI!

kALau Tuhan tak pernah saLah, LaLu apa aLasannya untukku...?

kenapa membuatku dLm keadaan ini...?

LaLu kenapa terdengar seperti tidak adiL...???

2

Aku tidak punya mereka untuk bercerita
Lingkaran itu menghasilkan kejenuhan
Aku tidak akan pernah memiliki mereka
Tanpa merelakan sebuah rahasia

Hanya butuh sebuah rahasia untuk menciptakan rahasia lainya
Sama seperti kebohongan lain yang tercipta dari kebohongan pertama
Aku tidak akan bercerita kepada mereka
Tanpa merelakan rahasia berikutnya

Aku Lupa Cara Berdoa!!

Aku begitu larut dalam Euphoria yang tak pernah ada habisnya. Kesenangan itu aku dewakan sebagai suatu ukuran pencapaian yang telah aku raih, dan aku bangga. Aku rasa wajar jika aku bangga dengan segala usahaku untuk meraih semua dan aku pantas untuk merasakan hasil dari bibit yang aku tanam.
Gelar sarjana, pekerjaan dan gaji yang telah aku terima. Pengakuan akan bakat dan segala giat yang aku miliki. Semua menyilaukan mata. Hampir membutakan. Namun kembali ke hakikat manusia, aku belum puas akan semuanya. Aku belum menang di bagian mana bahkan aku tak tahu. Aku hanya merasa kurang dan masih ada yang belum memuaskan dahaga.
Aku memang belum mempunyai pasangan, namun bukankah wanita ditakdirkan untuk diburu. Bukan memburu. Sebenarnya aku pun tak pernah keberatan untuk hidup sendiri dengan semua yang aku punya. Aku sudah cukup dengan segala yang aku punya dan sebuah keluarga. Bagian ini hanya pelengkap bagiku.
Aku membangun ekonomi keluargaku, lagi-lagi suatu kebanggan bagiku. Kehidupan ini tak pernah terbayangkan bagiku. Ayah, ibu dan aku, rasanya cukup berlebihan dengan gaji yang aku dapatkan dari pekerjaanku. Bahkan aku tak takut menghabiskan sebulan gaji kalau hanya untuk memanjakan diriku. Aku berhak mendapatkannya.
Pagi itu, seperti biasa saat aku ingin mencoba segala nikmat selama aku hidup, aku membeli tiket pesawat ke Jakarta untuk menemui sahabat ketika aku kuliah. Membincangkan prestasi masing-masing merupakan kebanggaan tersendiri di antara kami.
Meminta izin Ayah dan Ibu pun seperti basa basi, bukan karena aku tak menghormati, tapi memang mereka yang tak punya alasan untuk melarang aku pergi. Aku masih ingat bagaimana tata krama, maka aku cium tangan kedua orang tua. Takut juga, bila mendapat bala hanya gara-gara kualat pada orang tua.
Momen yang paling menyita perhatianku adalah menikmati tingginya jarak kita memandang ke tempat sebelumnya kita berpijak. Pemandangan dari jendela pesawat ini pula yang berarti dalam memotivasi hidupku, bahwa selalu ada cara untuk mencapai suatu ketinggian, bahwa tinggi bukan berarti mustahil untuk dicapai.
Euphoria ini sesaat memudar, mengembalikan kesadaranku beberapa saat, sadar betapa lelahnya tubuh kecil ini setelah aku paksa untuk melakukan rutinitas yang luar biasa. Maka aku membiarkan lelah mengambil kuasa.

Dia tak pernah lelah memberi sebuah tanda
kadang kita mengetahuinya, tapi salah menafsirkannya.
kadang kita mengetahuinya, lalu mengabaikannya.

Ini mimpi pikirku. Tapi guncangan kedua menyadarkanku bahwa ini adalah sebuah fakta yang nyata. Pesawat ini seperti kehilangan keseimbangannya. Menyusul guncangan ketiga. Keheningan yang menggangu begitu mencekam di setiap jeda guncangan itu. Penumpang di pesawat itu menunggu khawatir akan ada guncangan berikutnya. Dan guncangan keempat pun terjadi.
Penumpang di sampingku tampak hikmat memejamkan mata, bibirnya komat-kamit melafalkan doa. Menggulirkan butir-butir tasbih jingga dari ujung jarinya.
Aku memejamkan mata, ingin melafalkan doa. Tapi guncangan itu berhenti sebelum aku berdoa. Susah payah jantungku mulai kembali pada detak normalnya. Aku tersenyum, Tuhan masih menyayangiku, masih memberikan waktu untuk menikmati hasil jerih payahku. Terbukti bahkan sebelum aku berdoa.
Dan liburan itu pun berlalu.
***



Hari ini aku akan melangsungkan pernikahanku. 1 bulan yang lalu aku dilamar seorang pengusaha tampan. Kini aku percaya bahwa ada orang-orang yang terlahir dengan keberuntungan. Mungkin aku salah satunya. Pria itu mengambil seluruh perhatianku bahkan saat aku pertama kali melihatnya.
Pernikahan itu diadakan dengan semegah-megahnya. Mengundang decak kagum setiap tamu yang datang. Memikat mata setiap orang dan lagi-lagi memeberikan kebanggan tersendiri dalam setiap pandangan itu. Siapa yang tak iri melihat pernikahan yang begitu sempurna. Pengantin yang tampan dan cantik, kemegahan resepsi yang diadakan, segala atribut pernikahan yang memberi nilai tambah pada jalannya pernikahan dan kesuksesan yang telah diraih kedua mempelai.
Aku yakin anak kami pasti akan memberi kebanggan yang sama.

***
Hari itu akan selalu aku ingat. Walau pahit.
“aku menginginkan seorang anak, bukan hanya seorang istri” teriak suamiku. “aku membutuhkan seorang keturunan, darah daging yang sama denganku, bukan membeli darah daging orang lain”
Aku tak mampu menahan tangis.
Hari itu kami pulang dari dokter kandungan untuk memeriksa kesehatan kami karena setelah 2 tahun pernikahan kami belum juga dikaruniai seorang anak. Aku tidak mampu mnghasilkan seorang anak dari rahimku. Aku malu, terlebih karena suamiku pun meneriaki kenyataan itu. Adopsi anak  yang sebenarnya hanya usaha asal-asalanku untuk membujuknya dari kemarahannya pun malah memperkeruh suasana hati suamiku.
Maka hari itu juga, suamiku berkemas dari tempat tinggal kami dan meninggalkan aku dalam tangisan. Selamanya.
Malam itu aku hanya bisa mengeluarkan air mata. Aku hanya ingin menumpahkan semuanya. Aku hanya ingin menangis.


Langit malam ini merah..
sarat dengan nada marah..
aku berhenti untuk menelaah..
meneliti akustik ruangan yang seketika berubah..

Dia_lah tangan dari Sang Pemilik Cakrawala
menangkup bumi rapuh..
hingga aku takut suatu saat akan runtuh..

aku menunggu heran kedatangan resah..
malu karena lupa cara berdoa..
aku menungkup kuyu dibawah selimut lusuh
takut Sang Izrail datang saat aku begitu lumpuh walau hanya untuk bersimpuh..
tiupan angin menegur kuanggap sebagai tanda dari Sang Maha..
Pernyataan salah karena berani mengingatnya walau dalam keadaan sarat kuasa..
memberi stempel dosa dengan keberanian menantang Sang Pencipta
aku benar-benar gelisah..
aku memang sudah gila..

Aku tau harusnya aku segera menyentuhkan dahiku ke sajadah yang dalam jangka waktu yang sangat lama tak pernah aku jamah.  Namun aku hanya bisa memandang sajadah yang terlipat rapih itu dengan tangisan yang semakin tak bisa berhenti. Aku malu kepada-Nya. Aku lupa cara berdo’a. Aku benar-benar lupa cara berdo’a.




Aku memandang lurus ke depan, memandangi wanita yang tersenyum kepdanya. Wanita itu terlihat bahagia dan tegar. Seorang gadis berumur tujuh tahun berlarian di belakangnya. Wanita itu memandang sang gadis dengan tatapan penuh kasih. Sang gadis memeluknya dari belakang. Membuat mukenah yang digunakannya menjadi miring dan menampakkan helai rambutnya yang ikal. Setelah wanita itu selesai membenahi mukenahnya di depan kaca, ia berbalik menghadap sang gadis dan membenahi letak mukenahnya.
“Sri, kita sholat yuk”
“tapi mama harus jawab dulu pertanyaanku”
“Apa yang kamu ingin tanyakan, nak?”
“Kenapa aku harus sholat?”
“agar kamu tidak pernah lupa bagaimana cara berdo’a. Walaupun kamu sudah punya mobil, rumah, pesawat atau apapun nanti yang kamu punya, Kamu harus tetap ingat untuk berdoa.” aku cium keningnya. “mama pernah lupa cara berdo’a dan Mama malu kepada Allah. Karena sesungguhnya semua yang kita punya ini Allah yang memberi. Jadi kita tidak boleh lupa bersyukur dan terus berdoa supaya Allah terus memberikan berkahNya kepada kita”
Gadis itu mengangguk sok tahu walaupun yang ia pahami hanyalah bahwa ibunya menderita penyakit lupa yang akut karena bisa lupa hal yang baginya sangat mudah dilakukan.

DARAH UNTUK DARA

Kehidupan ini bukanlah menjadi hal yang tabu bagi mereka, sang pemeran, ketika kita sedikit membuka mata dan melebarkan sedikit deskripsi kita tentang kehidupan. Setiap manusia dihadapkan oleh pilihan, baik atau buruk, beresiko atau tidak dan dengan berbagai pilihan lainnya. Tapi entah benar atau tidak, bahwa kita lebih sulit menjalani hal yang sudah ditentukan. Ketika kita tidak memiliki pilihan.
Dilahirkan seperti ini bukanlah suatu pilihan. Terlahir dan terdampar ditengah wanita pelacuran. Aku terlahir dari rahim seorang wanita yang entah siapa ayahnya. Menurut mereka, pemuka agama, orang yang diberikan cobaan adalah orang-orang yang terpilih. Bahwa Ia, Sang Pemilih, harusnya memnyertakan “buku panduan hidup di tempat pelacuran” saat aku dilahirkan.
Aku dipaksa dewasa sebelum waktunya. Dipaksa untuk mengerti alasan mereka menentukan pilihan. Hidup dengan menjual diri, (menurut mereka, sang pemeran, bukan menjual kehormatan. Merka masih pantas dihormati) aku tak pernah banyak bicara ataupun komentar dengan mereka. Aku belajar untuk diam.
Aku tak pernah memilih untuk hidup seatap dengan mereka, sang pemeran, tapi aku juga tak pernah mencoba lari dari itu semua. Entah karena aku sudah terbiasa atau karena aku bingung harus pergi kemana.

Aku adalah Andra. Remaja tanggung yang dewasa sebelum waktunya ataupun remaja yang tak bisa memilih untuk lahir dari rahim siapa. Ini kisah hidupku. Kehidupan dengan paradigma yang berbeda.

 ***
Aku tak mampu bergerak, antara penasaran dan takut. Aku terbangun karena suara ibu terdengar kesakitan. Aku sudah diperingatkan oleh Nyonya, sang penguasa menurutku, jangan pernah masuk ruangan mana pun tanpa perintah langsung darinya. Bahkan jika terjadi kbakaran di dalamnya. Tapi hari ini aku tak tahan untuk memperdulikan larangan Nyonya. Aku turun dari tempat tidurku, aku seret kursi kayu di dapur sampai ke depan pintu kamar ibuku. Perlahan aku naikkan kakiku, emncoba bergerak tanpa suara, takut ketahuan Nyonya. Kuangkat lagi satu kakiku perlahan. Tapi ternyata masih belum bias menjangkau ventilasi d atas pintu kamar ibu. Aku berusaha bertumpu di ujung kakiku, dan…
“tak pernah kah kau mengerti bahasa Indonesia, nak?” Suara sang Nyonya pelan. Lirih namun beku.
“aku…” belum sempat aku menjawab Nyonya meletakkan bibirnya di atas bibirku.
Aku meronta. Melepaskan diri dari ciuman sang Nyonya. Nyonya mundur selangkah. Menatapku dengan mata yang aku tak tahu apa maksudnya. Antara dingin dan ….aku tak tahu.
“Inilah yang dilakukan ibumu di dalam, dan rintihan itu…”dia melihat kearah pintu kamar ibu “…adalah rintian kenikmatan. Itu artinya, Kau akan mengganggu ibumu jika kau tak mau mematuhi peraturan dirumah ini. Mengerti?”
Aku hanya bias mengangguk, masih tak bias mengeluarkan suara.
”Sekarang kau kembali ke kamarmu atau aku akan…” Nyonya menggigit bibir bawahnya. Aku tak tahu maksudnya, tapi melihat ekspresinya saja aku sudah takut. Aku berlari sebelum Nyonya merubah ekspresinya lagi.
Aku mengunci pintu kamar seakan takut kalau Nyonya akan mmakanku hidup-hidup. Aku harus tuli lagi. Tak boleh mendengar suara-suara yang tak harus aku dengar.
Dan aku pun terlelap.

 ***
Suatu Pagi aku dikejutkan dengan suara tawa yang menggema di dekat telingaku. Aku edarkan pandangan, tapi tak menemukan seorang pun tertawa di sampingku. Tapi sayup-sayup kudengar suara orang berbicara di depan kamarku. Aku keluar tapi juga tak menemukan siapa-siapa. Lalu aku takut mendengar suara itu dari satu “kamar terlarang” yang Nyonya maksud. Walaupun suara-suara aneh itu biasanya (terlalu biasa bagiku) aku dengar pada malam hari. Jadi aku berjalan perlahan ke kamar mandi, mencuci muka dan gosok gigi. Setelah itu aku ambil sapu, seperti setiap pagi, dan menuju teras rumah.
Ternyata dari ruang tamulah suara-suara yang tadi aku dengar berasal. Di situ ada Nyonya, ibu dan Tante Momon, yang aku kenali sebagai teman seprofesi ibu. Dan mereka sedang mengelilingi seorang… bidadari. Gadis itu masih sangat muda, rambut ikal hitam menggatung di sisi wajahnya karena dia menunduk. Hidungnya terpahat indah. Saat ini aku bahkan bias mengatakan bahwa dialah yang aku cari walau aku tak tau pasti apa yang aku cari atau semnjak kapan dan kenapa aku mencari. Aku hanya tau aku telah menemukannya. Aku tahu itu dia.


Bagaimana cara aku mengatakannya? Rasa ini aneh, campuran antara bingung, kelegaan dan kebanggaan. Dia melihatku seperti sebuah berhala, begitu memuja. Tapi siapa remaja itu? Melihatnya pun aku belum pernah. Aku bingung karena aku tiba-tiba merasa lega sekaligus bangga karena aku sperti diharapkan.lebih bingung lagi, aku tidak tahu dariman asal pikiranku ini.
Aku adalah Dara. Aku sengaja dating menemui Tante Tika karena aku sudah bingung untuk mencari biaya untuk menyambung hidupku. Aku tahu ini dosa, aku tahu ini pekerjaan rendah. Tapi aku tidak menemukan cara lain untuk menafkahi diriku sendiri.
“oh, itu anakku”. Kata Tante Rani saat mengikti arah pandanganku. “sini nak! Ini Kak Dara”
“eh maaf, panggil saja Dara. Mungkin umurnya tak jauh berbeda dari umurku”. Tiba-tiba aku bersuara, dan sejujurnya aku tak ingin terlihat tua, terutama didepan remaja ini.
Remaja itu terpaku di posisinya beberapa saat, menciptakan kebanggan tersendiri saat ia mengagumiku. Sebenarnya tak jarang aku melihat pandangan-pandangan seperti itu dari mata laki-laki, namun matanya memberikan kesan yang berbeda.
Lalu ia menggeleng sebentar seperti ingin mengusir sesuatu dari pikirannya, dan bergerak patah-patah menuju Tante Rani.
“Andra” dia memeperkenalkan dirinya sambil menjulurkan tanganya.
Aku menyambutnya dan aku tahu matanya tak pernah lepas dariku.
“cukup perkenalannya, sekarang lanjutkan tugasmu nak” Tante Momon angkat bicara.
Anak itu Hanya mengangguk sambil lalu, bahkan tanpa menoleh ke Tante Momon.
“Dia anak tante, baru kelas I SMA” kata Tante Rani tiba-tiba. “Gak ada yang membuat tante bertahan di dunia ini selain dia. Kenikmatan bekerja seperti ini pun telah menjadi neraka sendiri. Hanya dia, yang membuat tante benar-benar merasa memerlukan pekerjaan ini.” Tante Rani tampak menerawang, lebih seperti berbicara kepada diri sendiri. “makanya tante menanyakan keputusanmu ini, apakah benar-benar sudah matang?”
Aku menunduk malu, “Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku sudah membulatkan tekadku” namun  suara ku goyah.
Sudahlah Ran, itu keputusannya.” Tante Momon kelihtan kesal. “tapi tetap saja. Kamu harus menyelesaikan SMA mu dulu. Bagaimana?”
“Tapi…”
“tidak ada tapi, kamu akan tinggal di sini. Biaya hidupmu kau ganti dengan membantu Andra mengerjakan pekerjaan rumah. Setelah lulus SMA kau akan memulai hidupmu yang baru.”
“Baiklah.”

***
“Jadi kau anaknya Tante Rani?” oh shit! Pertanyaan bodoh, sudah jelas Tante Rani bilang ini anaknya.
“eh.. eh.. iya” sepertinya aku mengejutkannya.
“masih skolah?”
“SMA kelas 1, bukannya kakak juga sekolah?”
“ Dara, panggil aku Dara. Dan ya aku masih sekolah” aku bergerak menuju kursi di samping meja yang ada di ruang tengah, tak jauh dari bibir jendela yang didudukinya. Memalukan, aku grogi di dekat anak bau kencur yang baru aku kenal. Ingin aku lari ke kamar dan melihat Kartu Pelajarku, ingin memastikan apa ini benar-benar aku. Aneh.
“Dara..” sebutnya lirih.
“ya?”
“eh tidak, bagaimana kau bisa di sini?” Andra memandangku sekilas sebelum kembali melihat kluar jendela.
“aku butuh uang”
“kenapa tak jadi artis saja?”
“hahahaha.. artis apa? Bakat saja tak punya”
“dan kamu sudah memikirkannya semua?”
“sudah”
“Kau begitu yakin, sepertinya kamu sudah biasa melakukannya” pelan namun sekejap menaikkan amarahku.
Aku dorong kursi dengan keras, dan dengan sekuat tenaga aku menerjang wajahnya dengan tamparanku. “dasar mulut tak disekolahkan”
Aku benci anak itu mulai saat ini.

 (bersambung)

I Am Dance


aku menari di bawah senja
bukan menantang namun memuja
bukan juga menyembah berhala
hanya paham itu sebuah karya

aku bergerak dalam irama
sampaikan pesan melalui langkah
mengenang sejarah dalam cara yang berbeda
mencintai negara dalam budaya

P.S
aku menari bukan karenanya
tapi karenaku

(I don’t like to dance… I AM DANCE..!)

photographed by eddi kurniawan


Aku hitam, lalu apa aku tak boleh duduk disamping putih?
Aku lahir di tepian sana, lalu apa aku tak boleh mengenal budaya di ujung satunya?
Keragaman itu membuatku kagum dalam tradisi masing-masing
Memiliki daya pikat dalam keunikan yang tak pernah dimiliki orang asing

Kultur yang kuat dan adat yang pekat
Melebur dan berjalan beriring dalam satu tempat
Menekan keegoisan dan bersatu dalam mufakat
Untuk menjaga harmonisasi etnik Kalimantan  barat

Itu adalah harta yang patut kita jaga
Warisan bagi generasi berikutnya
Bukan hanya menjadi sejarah yang menipis karena lupa
Tapi media untuk mencintai Negara dengan cara yang berbeda

Melayu, dayak, Madura, cina
Gambaran nyata semboyan di bawah kaki sang Garuda
Perbedaan yang menjadi ciri khas bersama
Ialah….”Bhinneka tunggal ika”