tanpa judul 4

aku begitu gelisah
antara nyata dan maya
antara fakta atau khayalanku saja

aku benci fakta tapi tetap ada
khayalanku pun hanya sebatas asa

lalu bagaimana kalu iya?
 takkan pernah bisa berubah
kalaupun bisa tetap membekas jejaknya

dan bagaimana mereka?
apa aku tetap air bagi mereka
atau aku minyak yang berbeda partikelnya
atau kemudian aku tak ada

tanpa judul 3

Sesal...!

Satu kata yang kubenci

Karena selalu hadir setelah semua terjadi

Tak bisa diulang kembali

Hingga buatmu lepas kembali

Tanpa negosiasi...


Cinta...!

Tak harapkan komisi

Tapi pertaruhkan hati

Hanya bermain di satu siklus mini

Pertemuan dan berakhir lagi

Bersemi lalu patah hati

Tak pernah abadi

Selalu kehilangan jati diri

Dialog

Aku ingin menyaLahkan Tuhan...

tapi hati kciLku berteriak, "Hey, Tuhan tak pernah saLah...!!!"

Lalu kenapa aku yang harus mengaLAminya..?

"Karena kamu bisa mengatasinya"

LaLu kenapa aku tak dibri cara?

"Agar kamu berusaha"

LaLu kenapa ada derita?

"Agar kau dpat menghargai suatu kebahagiaan.."

"Apa kau pernah mengingatNya waktu kau bahagia?" tanya hati keciLku

Kadang-kadang

"Apa kamu benar2 berusaha?"

Menurutku Ya.

"apa kamu sudah kehabisan cara?"

Ntah Lah..

" Kenapa kamu terdengar ragu?"

Aku tidak tahu..

...............

................

.................

SUNYI!

kALau Tuhan tak pernah saLah, LaLu apa aLasannya untukku...?

kenapa membuatku dLm keadaan ini...?

LaLu kenapa terdengar seperti tidak adiL...???

2

Aku tidak punya mereka untuk bercerita
Lingkaran itu menghasilkan kejenuhan
Aku tidak akan pernah memiliki mereka
Tanpa merelakan sebuah rahasia

Hanya butuh sebuah rahasia untuk menciptakan rahasia lainya
Sama seperti kebohongan lain yang tercipta dari kebohongan pertama
Aku tidak akan bercerita kepada mereka
Tanpa merelakan rahasia berikutnya

Aku Lupa Cara Berdoa!!

Aku begitu larut dalam Euphoria yang tak pernah ada habisnya. Kesenangan itu aku dewakan sebagai suatu ukuran pencapaian yang telah aku raih, dan aku bangga. Aku rasa wajar jika aku bangga dengan segala usahaku untuk meraih semua dan aku pantas untuk merasakan hasil dari bibit yang aku tanam.
Gelar sarjana, pekerjaan dan gaji yang telah aku terima. Pengakuan akan bakat dan segala giat yang aku miliki. Semua menyilaukan mata. Hampir membutakan. Namun kembali ke hakikat manusia, aku belum puas akan semuanya. Aku belum menang di bagian mana bahkan aku tak tahu. Aku hanya merasa kurang dan masih ada yang belum memuaskan dahaga.
Aku memang belum mempunyai pasangan, namun bukankah wanita ditakdirkan untuk diburu. Bukan memburu. Sebenarnya aku pun tak pernah keberatan untuk hidup sendiri dengan semua yang aku punya. Aku sudah cukup dengan segala yang aku punya dan sebuah keluarga. Bagian ini hanya pelengkap bagiku.
Aku membangun ekonomi keluargaku, lagi-lagi suatu kebanggan bagiku. Kehidupan ini tak pernah terbayangkan bagiku. Ayah, ibu dan aku, rasanya cukup berlebihan dengan gaji yang aku dapatkan dari pekerjaanku. Bahkan aku tak takut menghabiskan sebulan gaji kalau hanya untuk memanjakan diriku. Aku berhak mendapatkannya.
Pagi itu, seperti biasa saat aku ingin mencoba segala nikmat selama aku hidup, aku membeli tiket pesawat ke Jakarta untuk menemui sahabat ketika aku kuliah. Membincangkan prestasi masing-masing merupakan kebanggaan tersendiri di antara kami.
Meminta izin Ayah dan Ibu pun seperti basa basi, bukan karena aku tak menghormati, tapi memang mereka yang tak punya alasan untuk melarang aku pergi. Aku masih ingat bagaimana tata krama, maka aku cium tangan kedua orang tua. Takut juga, bila mendapat bala hanya gara-gara kualat pada orang tua.
Momen yang paling menyita perhatianku adalah menikmati tingginya jarak kita memandang ke tempat sebelumnya kita berpijak. Pemandangan dari jendela pesawat ini pula yang berarti dalam memotivasi hidupku, bahwa selalu ada cara untuk mencapai suatu ketinggian, bahwa tinggi bukan berarti mustahil untuk dicapai.
Euphoria ini sesaat memudar, mengembalikan kesadaranku beberapa saat, sadar betapa lelahnya tubuh kecil ini setelah aku paksa untuk melakukan rutinitas yang luar biasa. Maka aku membiarkan lelah mengambil kuasa.

Dia tak pernah lelah memberi sebuah tanda
kadang kita mengetahuinya, tapi salah menafsirkannya.
kadang kita mengetahuinya, lalu mengabaikannya.

Ini mimpi pikirku. Tapi guncangan kedua menyadarkanku bahwa ini adalah sebuah fakta yang nyata. Pesawat ini seperti kehilangan keseimbangannya. Menyusul guncangan ketiga. Keheningan yang menggangu begitu mencekam di setiap jeda guncangan itu. Penumpang di pesawat itu menunggu khawatir akan ada guncangan berikutnya. Dan guncangan keempat pun terjadi.
Penumpang di sampingku tampak hikmat memejamkan mata, bibirnya komat-kamit melafalkan doa. Menggulirkan butir-butir tasbih jingga dari ujung jarinya.
Aku memejamkan mata, ingin melafalkan doa. Tapi guncangan itu berhenti sebelum aku berdoa. Susah payah jantungku mulai kembali pada detak normalnya. Aku tersenyum, Tuhan masih menyayangiku, masih memberikan waktu untuk menikmati hasil jerih payahku. Terbukti bahkan sebelum aku berdoa.
Dan liburan itu pun berlalu.
***



Hari ini aku akan melangsungkan pernikahanku. 1 bulan yang lalu aku dilamar seorang pengusaha tampan. Kini aku percaya bahwa ada orang-orang yang terlahir dengan keberuntungan. Mungkin aku salah satunya. Pria itu mengambil seluruh perhatianku bahkan saat aku pertama kali melihatnya.
Pernikahan itu diadakan dengan semegah-megahnya. Mengundang decak kagum setiap tamu yang datang. Memikat mata setiap orang dan lagi-lagi memeberikan kebanggan tersendiri dalam setiap pandangan itu. Siapa yang tak iri melihat pernikahan yang begitu sempurna. Pengantin yang tampan dan cantik, kemegahan resepsi yang diadakan, segala atribut pernikahan yang memberi nilai tambah pada jalannya pernikahan dan kesuksesan yang telah diraih kedua mempelai.
Aku yakin anak kami pasti akan memberi kebanggan yang sama.

***
Hari itu akan selalu aku ingat. Walau pahit.
“aku menginginkan seorang anak, bukan hanya seorang istri” teriak suamiku. “aku membutuhkan seorang keturunan, darah daging yang sama denganku, bukan membeli darah daging orang lain”
Aku tak mampu menahan tangis.
Hari itu kami pulang dari dokter kandungan untuk memeriksa kesehatan kami karena setelah 2 tahun pernikahan kami belum juga dikaruniai seorang anak. Aku tidak mampu mnghasilkan seorang anak dari rahimku. Aku malu, terlebih karena suamiku pun meneriaki kenyataan itu. Adopsi anak  yang sebenarnya hanya usaha asal-asalanku untuk membujuknya dari kemarahannya pun malah memperkeruh suasana hati suamiku.
Maka hari itu juga, suamiku berkemas dari tempat tinggal kami dan meninggalkan aku dalam tangisan. Selamanya.
Malam itu aku hanya bisa mengeluarkan air mata. Aku hanya ingin menumpahkan semuanya. Aku hanya ingin menangis.


Langit malam ini merah..
sarat dengan nada marah..
aku berhenti untuk menelaah..
meneliti akustik ruangan yang seketika berubah..

Dia_lah tangan dari Sang Pemilik Cakrawala
menangkup bumi rapuh..
hingga aku takut suatu saat akan runtuh..

aku menunggu heran kedatangan resah..
malu karena lupa cara berdoa..
aku menungkup kuyu dibawah selimut lusuh
takut Sang Izrail datang saat aku begitu lumpuh walau hanya untuk bersimpuh..
tiupan angin menegur kuanggap sebagai tanda dari Sang Maha..
Pernyataan salah karena berani mengingatnya walau dalam keadaan sarat kuasa..
memberi stempel dosa dengan keberanian menantang Sang Pencipta
aku benar-benar gelisah..
aku memang sudah gila..

Aku tau harusnya aku segera menyentuhkan dahiku ke sajadah yang dalam jangka waktu yang sangat lama tak pernah aku jamah.  Namun aku hanya bisa memandang sajadah yang terlipat rapih itu dengan tangisan yang semakin tak bisa berhenti. Aku malu kepada-Nya. Aku lupa cara berdo’a. Aku benar-benar lupa cara berdo’a.




Aku memandang lurus ke depan, memandangi wanita yang tersenyum kepdanya. Wanita itu terlihat bahagia dan tegar. Seorang gadis berumur tujuh tahun berlarian di belakangnya. Wanita itu memandang sang gadis dengan tatapan penuh kasih. Sang gadis memeluknya dari belakang. Membuat mukenah yang digunakannya menjadi miring dan menampakkan helai rambutnya yang ikal. Setelah wanita itu selesai membenahi mukenahnya di depan kaca, ia berbalik menghadap sang gadis dan membenahi letak mukenahnya.
“Sri, kita sholat yuk”
“tapi mama harus jawab dulu pertanyaanku”
“Apa yang kamu ingin tanyakan, nak?”
“Kenapa aku harus sholat?”
“agar kamu tidak pernah lupa bagaimana cara berdo’a. Walaupun kamu sudah punya mobil, rumah, pesawat atau apapun nanti yang kamu punya, Kamu harus tetap ingat untuk berdoa.” aku cium keningnya. “mama pernah lupa cara berdo’a dan Mama malu kepada Allah. Karena sesungguhnya semua yang kita punya ini Allah yang memberi. Jadi kita tidak boleh lupa bersyukur dan terus berdoa supaya Allah terus memberikan berkahNya kepada kita”
Gadis itu mengangguk sok tahu walaupun yang ia pahami hanyalah bahwa ibunya menderita penyakit lupa yang akut karena bisa lupa hal yang baginya sangat mudah dilakukan.

DARAH UNTUK DARA

Kehidupan ini bukanlah menjadi hal yang tabu bagi mereka, sang pemeran, ketika kita sedikit membuka mata dan melebarkan sedikit deskripsi kita tentang kehidupan. Setiap manusia dihadapkan oleh pilihan, baik atau buruk, beresiko atau tidak dan dengan berbagai pilihan lainnya. Tapi entah benar atau tidak, bahwa kita lebih sulit menjalani hal yang sudah ditentukan. Ketika kita tidak memiliki pilihan.
Dilahirkan seperti ini bukanlah suatu pilihan. Terlahir dan terdampar ditengah wanita pelacuran. Aku terlahir dari rahim seorang wanita yang entah siapa ayahnya. Menurut mereka, pemuka agama, orang yang diberikan cobaan adalah orang-orang yang terpilih. Bahwa Ia, Sang Pemilih, harusnya memnyertakan “buku panduan hidup di tempat pelacuran” saat aku dilahirkan.
Aku dipaksa dewasa sebelum waktunya. Dipaksa untuk mengerti alasan mereka menentukan pilihan. Hidup dengan menjual diri, (menurut mereka, sang pemeran, bukan menjual kehormatan. Merka masih pantas dihormati) aku tak pernah banyak bicara ataupun komentar dengan mereka. Aku belajar untuk diam.
Aku tak pernah memilih untuk hidup seatap dengan mereka, sang pemeran, tapi aku juga tak pernah mencoba lari dari itu semua. Entah karena aku sudah terbiasa atau karena aku bingung harus pergi kemana.

Aku adalah Andra. Remaja tanggung yang dewasa sebelum waktunya ataupun remaja yang tak bisa memilih untuk lahir dari rahim siapa. Ini kisah hidupku. Kehidupan dengan paradigma yang berbeda.

 ***
Aku tak mampu bergerak, antara penasaran dan takut. Aku terbangun karena suara ibu terdengar kesakitan. Aku sudah diperingatkan oleh Nyonya, sang penguasa menurutku, jangan pernah masuk ruangan mana pun tanpa perintah langsung darinya. Bahkan jika terjadi kbakaran di dalamnya. Tapi hari ini aku tak tahan untuk memperdulikan larangan Nyonya. Aku turun dari tempat tidurku, aku seret kursi kayu di dapur sampai ke depan pintu kamar ibuku. Perlahan aku naikkan kakiku, emncoba bergerak tanpa suara, takut ketahuan Nyonya. Kuangkat lagi satu kakiku perlahan. Tapi ternyata masih belum bias menjangkau ventilasi d atas pintu kamar ibu. Aku berusaha bertumpu di ujung kakiku, dan…
“tak pernah kah kau mengerti bahasa Indonesia, nak?” Suara sang Nyonya pelan. Lirih namun beku.
“aku…” belum sempat aku menjawab Nyonya meletakkan bibirnya di atas bibirku.
Aku meronta. Melepaskan diri dari ciuman sang Nyonya. Nyonya mundur selangkah. Menatapku dengan mata yang aku tak tahu apa maksudnya. Antara dingin dan ….aku tak tahu.
“Inilah yang dilakukan ibumu di dalam, dan rintihan itu…”dia melihat kearah pintu kamar ibu “…adalah rintian kenikmatan. Itu artinya, Kau akan mengganggu ibumu jika kau tak mau mematuhi peraturan dirumah ini. Mengerti?”
Aku hanya bias mengangguk, masih tak bias mengeluarkan suara.
”Sekarang kau kembali ke kamarmu atau aku akan…” Nyonya menggigit bibir bawahnya. Aku tak tahu maksudnya, tapi melihat ekspresinya saja aku sudah takut. Aku berlari sebelum Nyonya merubah ekspresinya lagi.
Aku mengunci pintu kamar seakan takut kalau Nyonya akan mmakanku hidup-hidup. Aku harus tuli lagi. Tak boleh mendengar suara-suara yang tak harus aku dengar.
Dan aku pun terlelap.

 ***
Suatu Pagi aku dikejutkan dengan suara tawa yang menggema di dekat telingaku. Aku edarkan pandangan, tapi tak menemukan seorang pun tertawa di sampingku. Tapi sayup-sayup kudengar suara orang berbicara di depan kamarku. Aku keluar tapi juga tak menemukan siapa-siapa. Lalu aku takut mendengar suara itu dari satu “kamar terlarang” yang Nyonya maksud. Walaupun suara-suara aneh itu biasanya (terlalu biasa bagiku) aku dengar pada malam hari. Jadi aku berjalan perlahan ke kamar mandi, mencuci muka dan gosok gigi. Setelah itu aku ambil sapu, seperti setiap pagi, dan menuju teras rumah.
Ternyata dari ruang tamulah suara-suara yang tadi aku dengar berasal. Di situ ada Nyonya, ibu dan Tante Momon, yang aku kenali sebagai teman seprofesi ibu. Dan mereka sedang mengelilingi seorang… bidadari. Gadis itu masih sangat muda, rambut ikal hitam menggatung di sisi wajahnya karena dia menunduk. Hidungnya terpahat indah. Saat ini aku bahkan bias mengatakan bahwa dialah yang aku cari walau aku tak tau pasti apa yang aku cari atau semnjak kapan dan kenapa aku mencari. Aku hanya tau aku telah menemukannya. Aku tahu itu dia.


Bagaimana cara aku mengatakannya? Rasa ini aneh, campuran antara bingung, kelegaan dan kebanggaan. Dia melihatku seperti sebuah berhala, begitu memuja. Tapi siapa remaja itu? Melihatnya pun aku belum pernah. Aku bingung karena aku tiba-tiba merasa lega sekaligus bangga karena aku sperti diharapkan.lebih bingung lagi, aku tidak tahu dariman asal pikiranku ini.
Aku adalah Dara. Aku sengaja dating menemui Tante Tika karena aku sudah bingung untuk mencari biaya untuk menyambung hidupku. Aku tahu ini dosa, aku tahu ini pekerjaan rendah. Tapi aku tidak menemukan cara lain untuk menafkahi diriku sendiri.
“oh, itu anakku”. Kata Tante Rani saat mengikti arah pandanganku. “sini nak! Ini Kak Dara”
“eh maaf, panggil saja Dara. Mungkin umurnya tak jauh berbeda dari umurku”. Tiba-tiba aku bersuara, dan sejujurnya aku tak ingin terlihat tua, terutama didepan remaja ini.
Remaja itu terpaku di posisinya beberapa saat, menciptakan kebanggan tersendiri saat ia mengagumiku. Sebenarnya tak jarang aku melihat pandangan-pandangan seperti itu dari mata laki-laki, namun matanya memberikan kesan yang berbeda.
Lalu ia menggeleng sebentar seperti ingin mengusir sesuatu dari pikirannya, dan bergerak patah-patah menuju Tante Rani.
“Andra” dia memeperkenalkan dirinya sambil menjulurkan tanganya.
Aku menyambutnya dan aku tahu matanya tak pernah lepas dariku.
“cukup perkenalannya, sekarang lanjutkan tugasmu nak” Tante Momon angkat bicara.
Anak itu Hanya mengangguk sambil lalu, bahkan tanpa menoleh ke Tante Momon.
“Dia anak tante, baru kelas I SMA” kata Tante Rani tiba-tiba. “Gak ada yang membuat tante bertahan di dunia ini selain dia. Kenikmatan bekerja seperti ini pun telah menjadi neraka sendiri. Hanya dia, yang membuat tante benar-benar merasa memerlukan pekerjaan ini.” Tante Rani tampak menerawang, lebih seperti berbicara kepada diri sendiri. “makanya tante menanyakan keputusanmu ini, apakah benar-benar sudah matang?”
Aku menunduk malu, “Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku sudah membulatkan tekadku” namun  suara ku goyah.
Sudahlah Ran, itu keputusannya.” Tante Momon kelihtan kesal. “tapi tetap saja. Kamu harus menyelesaikan SMA mu dulu. Bagaimana?”
“Tapi…”
“tidak ada tapi, kamu akan tinggal di sini. Biaya hidupmu kau ganti dengan membantu Andra mengerjakan pekerjaan rumah. Setelah lulus SMA kau akan memulai hidupmu yang baru.”
“Baiklah.”

***
“Jadi kau anaknya Tante Rani?” oh shit! Pertanyaan bodoh, sudah jelas Tante Rani bilang ini anaknya.
“eh.. eh.. iya” sepertinya aku mengejutkannya.
“masih skolah?”
“SMA kelas 1, bukannya kakak juga sekolah?”
“ Dara, panggil aku Dara. Dan ya aku masih sekolah” aku bergerak menuju kursi di samping meja yang ada di ruang tengah, tak jauh dari bibir jendela yang didudukinya. Memalukan, aku grogi di dekat anak bau kencur yang baru aku kenal. Ingin aku lari ke kamar dan melihat Kartu Pelajarku, ingin memastikan apa ini benar-benar aku. Aneh.
“Dara..” sebutnya lirih.
“ya?”
“eh tidak, bagaimana kau bisa di sini?” Andra memandangku sekilas sebelum kembali melihat kluar jendela.
“aku butuh uang”
“kenapa tak jadi artis saja?”
“hahahaha.. artis apa? Bakat saja tak punya”
“dan kamu sudah memikirkannya semua?”
“sudah”
“Kau begitu yakin, sepertinya kamu sudah biasa melakukannya” pelan namun sekejap menaikkan amarahku.
Aku dorong kursi dengan keras, dan dengan sekuat tenaga aku menerjang wajahnya dengan tamparanku. “dasar mulut tak disekolahkan”
Aku benci anak itu mulai saat ini.

 (bersambung)

I Am Dance


aku menari di bawah senja
bukan menantang namun memuja
bukan juga menyembah berhala
hanya paham itu sebuah karya

aku bergerak dalam irama
sampaikan pesan melalui langkah
mengenang sejarah dalam cara yang berbeda
mencintai negara dalam budaya

P.S
aku menari bukan karenanya
tapi karenaku

(I don’t like to dance… I AM DANCE..!)

photographed by eddi kurniawan


Aku hitam, lalu apa aku tak boleh duduk disamping putih?
Aku lahir di tepian sana, lalu apa aku tak boleh mengenal budaya di ujung satunya?
Keragaman itu membuatku kagum dalam tradisi masing-masing
Memiliki daya pikat dalam keunikan yang tak pernah dimiliki orang asing

Kultur yang kuat dan adat yang pekat
Melebur dan berjalan beriring dalam satu tempat
Menekan keegoisan dan bersatu dalam mufakat
Untuk menjaga harmonisasi etnik Kalimantan  barat

Itu adalah harta yang patut kita jaga
Warisan bagi generasi berikutnya
Bukan hanya menjadi sejarah yang menipis karena lupa
Tapi media untuk mencintai Negara dengan cara yang berbeda

Melayu, dayak, Madura, cina
Gambaran nyata semboyan di bawah kaki sang Garuda
Perbedaan yang menjadi ciri khas bersama
Ialah….”Bhinneka tunggal ika”