ATAS NAMA DESAH PART 1
23.04
Diposting oleh HOST
Hahahahaha
Apa? Kenapa aku memulainya dengan tertawa?
Jawabannya, “aku harus mulai ini dengan tertawa” . Aku harus mengisi cerita
ini dengan sesekali tertawa. Karena aku tidak tahu kapan tertawa lepas seperti
ini akan jadi bagian ceritaku, karena aku tak tahu harus menyisipkannya di
bagian mana, tengah, sepertiganya atau di akhir cerita. Karena bahkan aku belum
tahu bagaimana akhir cerita ini sebenarnya. Maka dari itu aku mulai dengan
tawa.
Akan sangat melankolis kalau aku bercerita bagaimana kehidupanku dimulai
hingga aku menginjak dewasa. Atau mungkin tua, kalau kalian pikir umur 24 itu
sudah tua. Tak ada yang istimewa dari ceritaku sebenarnya, aku bukan lahir di
keluarga kaya raya, punya rumah mewah, uang berlimpah, seperti cerita-cerita
yang kalian baca di majalah dengan cover artis ternama.
Aku juga tak mau mulai cerita bagaimana aku harus pindah dari rumah “tidak
mewah”-ku ke setiap rumah sewa yang entah kenapa semakin sering pindah semakin
tak terasa seperti rumah. Biarkan aku memulainya dengan indah, karena semoga
saja, ketika aku selesai bercerita aku menemukan ending yang bahagia.
Aku ingin kalian tersnyum.
Selalu tentang cinta.
Hahahahahahaha. Ternyata aku bisa menyelipkan tawa.
Ya, selalu cinta lah yang terdengar indah. Kau bisa menemukan senyum simpul
malu di wajah mereka yang baru saja bertemu cinta. kau bisa menyaksikan
semburat merah di pipi seorang gadis tanpa perona wajah. Kau bisa melakukan apa
saja ketika kau sandingkan kata “jatuh” dengan “cinta”. Selalu penuh keajaiban
ketika berbicara cinta.
Begitulah aku akan membicarakanmu. Keajaiban yang aku rasakan saat bertemu
denganmu. Malam itu kita memang berjanji temu dengan berlandaskan nafsu. Tapi
mungkin ini yang tak pernah kau tahu, malam itu sempurna sluruh malam ku jatuh
bersamamu. Rasa itu tumbuh di bawah nafasmu. Rinduku meenggebu padahal kau
masih dibawahku, membungkus desahan bersama erangan tertahan. Malam itu
sempurna penuh kenikmatan, juga sempurnalah aku jatuh cinta.
Kau tahu apa kata mereka?
Jika kau semudah itu mengajakku bertemu lalu bercumbu, entah sudah berapa
lelaki yang kau bekalkan kenikmatan ketika mereka pulang. Apa arti kata sayang jika kau mengucapkannya
ketika kau bergoyang, mengangkang dan diucapkan dengan gampang padahal kita baru
pertama kali bertemu semalam saat petang. Di kamarmu, dan kita mulai dengan
tlanjang. Kata mereka, aku bisa mendapatkan orang sepertimu dengan uang.
Hahahahahahaha, lihatlah aku tertawa lagi.
Tidakkah kau sadar kenapa aku tertawa? Mereka lupa bahwa aku bukan dari
keluarga kaya. Lagipula ini sempurna tentang cinta. mereka tidak tahu bagaimana
malamku runtuh bersama peluhmu, ketika cinta tumbuh di antara reruntuhan itu.
Hanya ada aku dan kamu.
Semkin hari aku semakin bahagia. Bagaimana tidak, kau muda dan manja. Tak
malu bergelayut mesra untuk menunjukkan rasa kita sama. Sebaliknya aku, merasa
bangga karna selalu ada ketika kau butuh, merasa benar karena menemukanmu. Hingga
suatu hari aku memutuskan kau sebagai “rumah”ku, itu pun atas seizinmu. Entah
bagaimana kau membuatku merasa harus kembali setiap kali aku pergi. Seperti
kata orang-orang, tidak ada tempat yang lebih nyaman daripada rumah sendiri.
Kau adalah rumahku saat ini, tempat paling nyaman untuk kembali.
Kau, mengalahkan semua rumah-rumah sewa yang pernah aku singgah. Walaupun
ada keluarga di sana, entah bagaimana rumah-rumah itu tidak sesuai dengan
harapanku akan definisi rumah dan keluarga. Yang aku tau aku punya ibu, ayah,
dan saudara. Sungguh demi apapun aku menyayangi mereka, hanya saja aku tak
punya rumah. Rumah-rumah sewa itu bukan rumahku. Rumahku adalah kamu. Sejauh apapun aku pergi, aku selalu ingin
kembali. Padamu. Rumahku.
Kenapa aku begitu berkeras menyatakan kau adalah rumah, tempat dimana aku
merasa betah, tempat aku nyaman tinggal berlama-lama, tempat aku menyandarkan
lelah, membagi duka walau lebih sering menawarkan bahagia. Waktu aku masih
setinggi pinggangku sekarang, aku tinggal bersama ibunya ibu. Hingga beberapa
tahun setelah kelahiran adikku, aku tinggal bersama orang tua. Mengecap sedikit
memori tentang rumah dan keluarga sebelum akhirnya aku pindah ke rumah sewa
yang pertama. Rumah itu di jual untuk menebus saudaraku yang katanya bisa
keluar dari penjara dengan belasan juta saja. sialnya rumah terjual namun dia
tak kunjung keluar. Tentu saja aku mengkal. Ibuku ditipu, ayahku malu, aku
kehilangan rumah pertamaku dan adikku tentu saja belum waktunya untuk tahu.
Waktu itu, aku baru saja menyelesaikan sekolahku. Ah ya, kalau saja kau
tahu, dari beberapa saudaraku yang lebih tua, hanya aku yang menyelesaikan
sekolahku sampai SMA. Dengan prestasi, tanpa mengeluh, tanpa menuntut ini itu.
Tapi aku harus sadar untuk lanjut di bangku kuliah. Tentu saja masalah biaya.
Bagaimana bisa urusan ini menjadi mudah, ketika uang tebusan penjara hilang tak
ada guna, sekarang harus mengais rejeki membayar rumah sewa, tak mungkin aku
menuntut keinginanku menyentuh ilmu di bangku kuliah. Aku harus bekerja.
Mulai saat itulah aku menghapus beberapa mimpi, menulisnya kembali dengan
porsi yang lebih mini. Berusaha berbesar hati ketika keinginan itu menjadi
angan-angan.
Maka aku bekerja, menyebar permohonan dengan selembar fotocopy ijazah. Ini
sebenarnya juga usaha untuk lari dari rumah (sewa). Sekarang tempat itu seperti
taman air mata, sedikit kali meninggalkan tawa. Iparku, wanita yang ditinggal
pergi suami berbatas jeruji, menangis tak henti. Tentu saja ibuku merasa
bertanggung jawab atas akibat kelakuan anaknya yang mendekap karena narkoba.
Maka ibuku membukakan pintu, menbagi ruang untuk menantu dan dua cucu. Membuat
tambahan batas di rumah (sewa) yang memang sudah terbatas.
Aku diterima bekerja, pergi pagi pulang senja, keluar lagi melepas resah,
menikmati masa remaja yang tidak biasa. Berusaha menjadi remaja pada umumnya.
Mereka tidak perlu tahu tentang rumah sewa, orang tua, iparku, saudaraku yang
tak tahu malu. Jika mereka bertanya, aku bilang aku hidup sendiri di sini,
keluargaku ada di sudut terjauh pulau ini.
Bukankah rumah tempat aku menyandarkan lelah? Lalu bagaimana aku menyebut
rumah ini sebagai rumah. Satu jam saja aku di sana, yang kudengar adalah
puluhan teriakan marah, lagi-lagi iparku yang meneteskan airmata. Tak mau
berlebihan, memang kadang masih ada tawa, tapi hanya beberapakali dari 24 jam
sehari.
Tahun berikutnya lagi-lagi aku harus pindah. Mencari rumah (sewa) yang
lebih murah. Karena asal kalian tahu, abang-sial-ku itu kembali meminta tebusan
yang katanya belasan juta itu kali ini dapat membantu. Berteriak, berdebat,
berbusa-busa pun aku menentang orang tua, omonganku bukan apa-apa. Percuma aku
sekolah. Kembali mereka tertipu, lagi ayahku malu, ibuku tertunduk sayu, adikku
kini sudah tahu, iparku menangis tersedu.
Aku pindah bekerja, pergi tengah hari pulang subuh. Tak pulang ke rumah
sewa, lebih memilih menjadi nomaden dari pada di sana. Hanya sesekali aku
kembali, pagi-pagi lalu pamit pergi lagi. Mereka tidak mencegah. Bukankah aku
sudah bilang aku bukan apa-apa. Mulai saat itu aku kehilangan definisi rumah
sekaligus keluarga.
Kehidupan remaja aku gabungkan bersama dunia kerja. Aku dewasa sebelum
waktunya. Aku mengenal dunia lebih jauh, semakin jauh dan terlalu jauh.
Lalu aku mengenalmu. Aku mendapatkan rumah. Walau belum mendapat keluarga,
tapi aku mendapat yang tak kalah harganya. Cinta. wahai kau makhluk muda yang
manja, sungguh aku mencintaimu. Terlalu mencintaimu.
Itulah juga yang akhirnya menyakitiku. Bukankah sesuatu yang terlalu itu
tidak baik. Mencintaimu membuatku abai akan kenyataan kau masih muda, masih
bergejolak untuk mencari yang lebih dari apa yang sudah kau punya. Kau ingin
mersakan cinta yang lebih dari yang aku punya. Aku pun lalai saat kau berkelana
mencarinya. baru tersadar ketika mendapatimu terbaring di atas tubuh setelah
saling beradu. Kau membekalkan kenikmatan yang sama pada lelaki lainnya,
memberi harapan bagi mereka untuk menjadikanmu rumah, merasakan gelayutan manja
yang sama. Kau takkan tahu bagaimana rasanya saat itu, marah tak bisa, menangis
tak kuasa, lututku lemah untuk membawa tubuhku segera menjauh.
Sungguh mati aku tak tahu harus apa waktu itu. Bayanganmu bercumbu dengan
orang selain aku terus berputar liar di kepalaku. Mataku seperti terbuka
walaupun sudah aku tutup. Rasa itu menggambar jelas walau mata ku tidak
terbuka.
Sejam setelahnya baru rasa-rsa itu muncul semua. Cemburu, marah, takut
kehilangan, membuncah di saat yang sama. Keluar dari mulut hanya berupa suara
erangan lemah. Lelah karena ternyata malam itu air mata dari tadi keluar tanpa
terasa. Sejam sudah aku menelikuk di kecilnya kamar rumah (sewa).
Kau tentu saja langsung merasa bersalah. Berkemas memakai baju setelah aku
melihatmu tanpa busana, hanya saja di atas tubuh yang bukan aku. Entah
sebelumnya kau sempat mendaratkan ciuman mesra sebelum berpisah pada lelakimu
itu, atau entah mungkin saja kau sempat menyelipkan janji temu untuk kembali
membagi desah. Aku tak peduli. Baru saja kau patahkan sepotong hati.
Dipikiranku sempat terpikir untuk bunuh diri, yang sedetik kemudian aku
tertawakan karena bagaimana bisa bunuh diri, bergerak sesenti saja aku tak
kuasa.
Sempurna sudah aku terluka.
Entah bagaimana kau menemukanku, datang ke rumah (sewa)-ku, menangis
meminta maaf atas khilaf katamu. Bagaiman aku bisa menolak. Aku tak punya
kuasa. Kaulah yang kusebut rumah. Sejauh manapun aku tersesat, hanya padamu
akan kembali. Kau. Rumahku.
Dengan segala logika yang tersiksa, aku paksa bepikir ini semua karena kau
masih muda. Belum mengerti cara menghargai sebuah cinta. sebesar yang aku
punya. Belajarlah sayang, belajarlah menghargainya. Bukankah kau punya cinta
yang sama besarnya?
Atau tidak?
Langganan:
Postingan (Atom)