Sebuah garis berkelip di laptopku dan battery alert di kanan bawah layar menandakan 2 jam sudah aku menatap kosong kepadanya. Tak keluar satu kata pun. Bahkan satu huruf. Ide itu liar beberapa saat yang lalu, bagai tak sabar dikeluarkan satu persatu. Tapi kini hanya sebuah tatapan buntu. Yang tersisa hanyalah cahaya laptop di kamarku yang gelap dan dengung mesin laptop tuaku.
Tua? Ya, tua. Ini merupakan laptop second yang dibeli ayahku dan kini menjadi hak milikku setelah 3 Tahun mengabdi di bawah jari Ayah. Aku biasanya menulis tanpa laptop. Manual. Lebih alami menurutku. Walaupun pada akhirnya butuh kerja keras untuk membaca tulisanku. Tapi aku tak pernah mendapatkan ini terjadi padaku. Benar-benar buntu.
Garis di layar itu seolah tak lelah berkelip memberi tanda kepadaku untuk menggerakkannya, membantunya mengeluarkan kata-kata yang biasanya mengalir begitu saja. Seolah aku tak berguna, tak mempunyai daya untuk mengeluarkan sebuah kata. Aku harus mulai dengan apa?
Garis itu terus saja berkelap-kelip, seperti pelari yang mengambil ancang-ancang menunggu peluit sang wasit. Tapi fase itu tak pernah berjalan, peluit tak pernah berbunyi, pelari tetap di garis start dan terus saja bersiap dengan posisi yang mantap. Garis itu berkelap-kelip dan tak berhenti berkelip, seperti ideku sebelum buntu. Tapi sekarang buntu. Dan hanya buntu.