Dirapatkannya tangan ke dinding, menggaruk mencari pegangan. Mungkin ini posisi terakhir yang dapat dilakukannya sebelum kenikmatan ini menyentuh puncak. Lelah menggarap dinding yang datar, jarinya memelintir daging kehitaman di ujung buah yang ranum, seolah ingin mempercepat tujuan. Tak sabar. Bukan. Tapi tak tahan. Lelah menunggu.
Darrrr!
Tubuhnya bergetar. menggigil lalu menggeliat dibasahi keringat. Sesekali tersentak, tersengat sisa kenikmatan yang membuatnya bergetar. haaahh, kalau ada yang menusukkan pisau di atas perut ratanya saat ini, berteriak pun sudah tak mampu dilakukannya. Lelah. Tapi bahagia. Kalau dunia bisa senikmat ini, bagaimana surga?
Sudah berapa malam tubuhnya menyatu dengan tubuh yang berbeda setiap kenikmatan yang diraihnya. Entah berapa malam desahannya menyatu dengan suara berat sebagai kombinasinya. Kenikmatan ini tiada habisnya. Semakin hari semakin ingin merenggutnya. Ingin menjadikan setiap kenikmatan dunia menjadi miliknya. Rakus. Dan ini candu. Bahkan ia pun paham tentang itu.
Jangan bicara “berhenti” kepadanya. Karena jawabannya hanya tawa. “munafik bangsat! Jangan hanya bicara. Rasakan sekali saja, dan beri aku cara untuk menafikannya kemudian berhenti mengharapkannya” mungkin itu isi tawaanya.