Timeline twitter, status facebook dan segala jejaring social lainnya dipenuhi dengan fenomena alam malam ini. Termasuk aku. Aku juga sedang menunggu bulan itu tertutup sepnuhnya. Menanti moment yang bagi beberapa orang sangat indah namun tak ada artinya bagi beberapa orang lainnya. Aku mengagumi cara kerja alam. Terutama hujan.

Sebentar-sebentar kepala ku mendongak ke atas.  Memastikan setiap moment ini aku lihat dengan jelas, mencari keistimewaan dibalik langkanya fenomena ini. Sepertinya cuaca memberikan keleluasaan tersendiri bagi penikmat alam melihat langsung ketika posisi bumi hampir sejajar dengan bulan dan matahari. Aku pernah baca mitos tentang gerhana bulan ini, kabarnya orang-orang jaman dulu beranggapan bahwa gerhana bulan itu terjadi karena adanya batara (raksasa) yang melahap sang bulan dan untuk menakut-nakuti sang batara,  banyak orang orang yang memukul lesung secara bersamaan agar sang batara memuntahkan kembali sang bulan seperti semula.

Salah satu mitos ada yang menyebutkan bahwa jika sedang terjadi gerhana bulan bagi yang ingin cepet tinggi mesti lompat-lompat dan bergantungan di pintu supaya kita bisa cepet tinggi. “Dasar Mitos” (sambil lompat-lompat *eh?). atau mitos tentang naga di negeri china yang akan menelan bulan. Ataupun mitos lainnya.

Terlepas dari semua itu, aku memiliki misi tersendiri malam ini. Aku penasaran dengan perkataan seseorang, 

“tahukah kau bagian terindah ketika gerhana bulan?”
“ketika bulan tertutup penuh?” Jawabku ragu
“itu indah tapi ada yang lebih indah. Adalah ketika melihat proses bagaimana bulan itu kembali bersinar”
“Dimana letak indahnya? Menunggu bulan itu tertutup saja kepalaku pegal, apalagi harus menunggu sampai gerhana itu benar-benar selesai.”
Dia hanya mengangkat bahu.
“lalu fenomena apa yang terjadi saat proses itu?”
Dia hanya tersenyum.

Sepuluh menit berlalu, bulan seperti kue yang mulai digerogoti bagian tepinya. Dimana letak keindahan bulan itu? Bukankah bagian terbaiknya adalah ketika bulan itu gelap secara sempurna? Karena itulah yang dinamakan gerhana?

Aku tak pernah ingat ada mitos tentang fase bulan setelah gerhana. Bahkan menunggu keistimewaan dan kelangkaan yang pasti pun kini sudah mulai membuatku bosan apalagi menunggu bulan itu membuka lagi atau menunggu bulan itu kembali dimuntahkan oleh Bhatara atau Si naga.

Aku membayangkan mana mitos yang benar, antara mitos China dan mitos Indonesia. Atau mungkin kalau mitos itu aku gabungkan keduanya, ketika Naga mencakar Bhatara Sang Raksasa ketika melawan sang raksasa memperebutkan Sang Bulan. Bhatara tak mau kalah, keris andalan pun dikeluarkan untuk mencukur jenggot naga. Perkelahian pun tak terelakkan, terjadi pergulatan yang panas antara Naga China dan Bhatara, sampai-sampai membuat mereka lelah dan sepakat untuk membagi bulan menjadi dua, dan menelannya ditemani air kopi.

aku mulai melantur.
Akhirnya moment itu datang, ketika bulatan kuning pucat tertutup sepenuhnya dan meberikan warna jingga indah dalam balutan suasana malam yang cerah. Aku ingat cerita tentang purnama, purnama jingga tepatnya. Ketika sepasang kekasih yang terpisah jarak menatap ke atas langit malam bulan purnama dan menyaksikan bagaimana bulan itu bersinar di situlah keistimewaan itu tersembunyi. Jika sepasang kekasih itu melihat bulan yang berwarna kuning pucat maka sebenarnya mereka bukan lah pasangan sejati. Namun jika yang dilihat adalah Purnama yang berwarna jingga maka mereka adalah sepasang kekasih sejati yang saling merindu. Dan lagi-lagi itu hanya cerita khayal yang sempat aku percaya. Cerita khayal Purnama Jingga.

Aku mendongak menatap seseorang di sampingku:

“apakah proses yang kau bilang itu juga mitos?”
“ya, itu mitos yang aku percaya untuk diriku sendiri. Ada sesuatu yang aku pelajari dari situ.”
“apa?”
“aku adalah pengagum Tuhan dalam penciptaan alam, bagaimana Dia memberikan mekanisme sempurna dalam setiap pergerakan barang ciptaannya. Aku belajar dari setiap fenomena indah itu.”
“lalu apa yang kau pelajari dari keindahan gerhana? Aku tak menemukannya selain fenomena langka yang tak lebih bagus dari purnama. Aku menikmati melihat purnama yang bersinar terang”
“butuh waktu yang lama kita dapat melihat ketika bumi, bulan dan matahari berda pada posisi sempurna atau berada pada daerah umbra[1]. Butuh wktu yang lama pula ketika bulan, bumi dan matahari untuk kembali bekerja sendiri-sendiri. Bagiku, butuh waktu lama untuk mendapatkan sesuatu yang berharga dalam hidup ini, butuh waktu lama pula untuk merelakan ketika sesuatu yang berharga itu hilang dari diri.
Tapi kita melupakan bagian terbaik dari kehilangan tersebut. kita merelakan itu demi sesuatu yang lebih berharga walau dalam waktu yang lama. Sama seperti ketika bulan, bumi dan matahari bergerak menyingkir dari posisi sejajar dan mengikuti tugas masing-masing, bulan mengelilingi bumi dan bumi mengelilingi matahari. Bagian terbaiknya adalah ketika dapat melihat sinar itu kembali. Sempurna. Tanpa noda atau noktah dari bayangan gelap apapun.
Begitu pula tentang dirimu. Butuh waktu lama untuk menaklukan kebekuan hatimu sehingga aku mencapai fase dimana aku dapat duduk di samping mu malam ini. Fase sempurna. Aku melihat salah satu karya Tuhan yang begitu indah. Tapi aku harus siap kehilangan kamu jika memang itu yang harus terjadi dan aku harus rela jika itu lebih baik untuk dirimu. Harus rela untuk melihat mu bersinar. Dan aku yakin butuh waktu lama untuk merelakan kehilangan karya Tuhan seindah ini.”

Aku terpana.

“Kalau seperti itu maksudmu, biarkan aku sedikit egois malam ini. Ya Tuhan, jika malam ini aku meminta untuk menghentikan moment gerhana bulan ini untuk selamanya, aku tau itu akan berlebihan. Jadi aku minta biarkan aku berada pada fase sempurna bagi orang disampingku ini. Aku tidak ingin bersinar lebih jika harus bersinar tanpa dia disampingku. Biarkan aku menjadi gerhana bulan untuk selamanya.”

[1] Umbra adalah bayangan inti yang berada di bagian tengah sangat gelap pada saat terjadi gerhana