Kehidupan ini bukanlah menjadi hal yang tabu bagi mereka, sang pemeran, ketika kita sedikit membuka mata dan melebarkan sedikit deskripsi kita tentang kehidupan. Setiap manusia dihadapkan oleh pilihan, baik atau buruk, beresiko atau tidak dan dengan berbagai pilihan lainnya. Tapi entah benar atau tidak, bahwa kita lebih sulit menjalani hal yang sudah ditentukan. Ketika kita tidak memiliki pilihan.
Dilahirkan seperti ini bukanlah suatu pilihan. Terlahir dan terdampar ditengah wanita pelacuran. Aku terlahir dari rahim seorang wanita yang entah siapa ayahnya. Menurut mereka, pemuka agama, orang yang diberikan cobaan adalah orang-orang yang terpilih. Bahwa Ia, Sang Pemilih, harusnya memnyertakan “buku panduan hidup di tempat pelacuran” saat aku dilahirkan.
Aku dipaksa dewasa sebelum waktunya. Dipaksa untuk mengerti alasan mereka menentukan pilihan. Hidup dengan menjual diri, (menurut mereka, sang pemeran, bukan menjual kehormatan. Merka masih pantas dihormati) aku tak pernah banyak bicara ataupun komentar dengan mereka. Aku belajar untuk diam.
Aku tak pernah memilih untuk hidup seatap dengan mereka, sang pemeran, tapi aku juga tak pernah mencoba lari dari itu semua. Entah karena aku sudah terbiasa atau karena aku bingung harus pergi kemana.

Aku adalah Andra. Remaja tanggung yang dewasa sebelum waktunya ataupun remaja yang tak bisa memilih untuk lahir dari rahim siapa. Ini kisah hidupku. Kehidupan dengan paradigma yang berbeda.

 ***
Aku tak mampu bergerak, antara penasaran dan takut. Aku terbangun karena suara ibu terdengar kesakitan. Aku sudah diperingatkan oleh Nyonya, sang penguasa menurutku, jangan pernah masuk ruangan mana pun tanpa perintah langsung darinya. Bahkan jika terjadi kbakaran di dalamnya. Tapi hari ini aku tak tahan untuk memperdulikan larangan Nyonya. Aku turun dari tempat tidurku, aku seret kursi kayu di dapur sampai ke depan pintu kamar ibuku. Perlahan aku naikkan kakiku, emncoba bergerak tanpa suara, takut ketahuan Nyonya. Kuangkat lagi satu kakiku perlahan. Tapi ternyata masih belum bias menjangkau ventilasi d atas pintu kamar ibu. Aku berusaha bertumpu di ujung kakiku, dan…
“tak pernah kah kau mengerti bahasa Indonesia, nak?” Suara sang Nyonya pelan. Lirih namun beku.
“aku…” belum sempat aku menjawab Nyonya meletakkan bibirnya di atas bibirku.
Aku meronta. Melepaskan diri dari ciuman sang Nyonya. Nyonya mundur selangkah. Menatapku dengan mata yang aku tak tahu apa maksudnya. Antara dingin dan ….aku tak tahu.
“Inilah yang dilakukan ibumu di dalam, dan rintihan itu…”dia melihat kearah pintu kamar ibu “…adalah rintian kenikmatan. Itu artinya, Kau akan mengganggu ibumu jika kau tak mau mematuhi peraturan dirumah ini. Mengerti?”
Aku hanya bias mengangguk, masih tak bias mengeluarkan suara.
”Sekarang kau kembali ke kamarmu atau aku akan…” Nyonya menggigit bibir bawahnya. Aku tak tahu maksudnya, tapi melihat ekspresinya saja aku sudah takut. Aku berlari sebelum Nyonya merubah ekspresinya lagi.
Aku mengunci pintu kamar seakan takut kalau Nyonya akan mmakanku hidup-hidup. Aku harus tuli lagi. Tak boleh mendengar suara-suara yang tak harus aku dengar.
Dan aku pun terlelap.

 ***
Suatu Pagi aku dikejutkan dengan suara tawa yang menggema di dekat telingaku. Aku edarkan pandangan, tapi tak menemukan seorang pun tertawa di sampingku. Tapi sayup-sayup kudengar suara orang berbicara di depan kamarku. Aku keluar tapi juga tak menemukan siapa-siapa. Lalu aku takut mendengar suara itu dari satu “kamar terlarang” yang Nyonya maksud. Walaupun suara-suara aneh itu biasanya (terlalu biasa bagiku) aku dengar pada malam hari. Jadi aku berjalan perlahan ke kamar mandi, mencuci muka dan gosok gigi. Setelah itu aku ambil sapu, seperti setiap pagi, dan menuju teras rumah.
Ternyata dari ruang tamulah suara-suara yang tadi aku dengar berasal. Di situ ada Nyonya, ibu dan Tante Momon, yang aku kenali sebagai teman seprofesi ibu. Dan mereka sedang mengelilingi seorang… bidadari. Gadis itu masih sangat muda, rambut ikal hitam menggatung di sisi wajahnya karena dia menunduk. Hidungnya terpahat indah. Saat ini aku bahkan bias mengatakan bahwa dialah yang aku cari walau aku tak tau pasti apa yang aku cari atau semnjak kapan dan kenapa aku mencari. Aku hanya tau aku telah menemukannya. Aku tahu itu dia.


Bagaimana cara aku mengatakannya? Rasa ini aneh, campuran antara bingung, kelegaan dan kebanggaan. Dia melihatku seperti sebuah berhala, begitu memuja. Tapi siapa remaja itu? Melihatnya pun aku belum pernah. Aku bingung karena aku tiba-tiba merasa lega sekaligus bangga karena aku sperti diharapkan.lebih bingung lagi, aku tidak tahu dariman asal pikiranku ini.
Aku adalah Dara. Aku sengaja dating menemui Tante Tika karena aku sudah bingung untuk mencari biaya untuk menyambung hidupku. Aku tahu ini dosa, aku tahu ini pekerjaan rendah. Tapi aku tidak menemukan cara lain untuk menafkahi diriku sendiri.
“oh, itu anakku”. Kata Tante Rani saat mengikti arah pandanganku. “sini nak! Ini Kak Dara”
“eh maaf, panggil saja Dara. Mungkin umurnya tak jauh berbeda dari umurku”. Tiba-tiba aku bersuara, dan sejujurnya aku tak ingin terlihat tua, terutama didepan remaja ini.
Remaja itu terpaku di posisinya beberapa saat, menciptakan kebanggan tersendiri saat ia mengagumiku. Sebenarnya tak jarang aku melihat pandangan-pandangan seperti itu dari mata laki-laki, namun matanya memberikan kesan yang berbeda.
Lalu ia menggeleng sebentar seperti ingin mengusir sesuatu dari pikirannya, dan bergerak patah-patah menuju Tante Rani.
“Andra” dia memeperkenalkan dirinya sambil menjulurkan tanganya.
Aku menyambutnya dan aku tahu matanya tak pernah lepas dariku.
“cukup perkenalannya, sekarang lanjutkan tugasmu nak” Tante Momon angkat bicara.
Anak itu Hanya mengangguk sambil lalu, bahkan tanpa menoleh ke Tante Momon.
“Dia anak tante, baru kelas I SMA” kata Tante Rani tiba-tiba. “Gak ada yang membuat tante bertahan di dunia ini selain dia. Kenikmatan bekerja seperti ini pun telah menjadi neraka sendiri. Hanya dia, yang membuat tante benar-benar merasa memerlukan pekerjaan ini.” Tante Rani tampak menerawang, lebih seperti berbicara kepada diri sendiri. “makanya tante menanyakan keputusanmu ini, apakah benar-benar sudah matang?”
Aku menunduk malu, “Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku sudah membulatkan tekadku” namun  suara ku goyah.
Sudahlah Ran, itu keputusannya.” Tante Momon kelihtan kesal. “tapi tetap saja. Kamu harus menyelesaikan SMA mu dulu. Bagaimana?”
“Tapi…”
“tidak ada tapi, kamu akan tinggal di sini. Biaya hidupmu kau ganti dengan membantu Andra mengerjakan pekerjaan rumah. Setelah lulus SMA kau akan memulai hidupmu yang baru.”
“Baiklah.”

***
“Jadi kau anaknya Tante Rani?” oh shit! Pertanyaan bodoh, sudah jelas Tante Rani bilang ini anaknya.
“eh.. eh.. iya” sepertinya aku mengejutkannya.
“masih skolah?”
“SMA kelas 1, bukannya kakak juga sekolah?”
“ Dara, panggil aku Dara. Dan ya aku masih sekolah” aku bergerak menuju kursi di samping meja yang ada di ruang tengah, tak jauh dari bibir jendela yang didudukinya. Memalukan, aku grogi di dekat anak bau kencur yang baru aku kenal. Ingin aku lari ke kamar dan melihat Kartu Pelajarku, ingin memastikan apa ini benar-benar aku. Aneh.
“Dara..” sebutnya lirih.
“ya?”
“eh tidak, bagaimana kau bisa di sini?” Andra memandangku sekilas sebelum kembali melihat kluar jendela.
“aku butuh uang”
“kenapa tak jadi artis saja?”
“hahahaha.. artis apa? Bakat saja tak punya”
“dan kamu sudah memikirkannya semua?”
“sudah”
“Kau begitu yakin, sepertinya kamu sudah biasa melakukannya” pelan namun sekejap menaikkan amarahku.
Aku dorong kursi dengan keras, dan dengan sekuat tenaga aku menerjang wajahnya dengan tamparanku. “dasar mulut tak disekolahkan”
Aku benci anak itu mulai saat ini.

 (bersambung)