Aku begitu larut dalam Euphoria yang tak pernah ada habisnya. Kesenangan itu aku dewakan sebagai suatu ukuran pencapaian yang telah aku raih, dan aku bangga. Aku rasa wajar jika aku bangga dengan segala usahaku untuk meraih semua dan aku pantas untuk merasakan hasil dari bibit yang aku tanam.
Gelar sarjana, pekerjaan dan gaji yang telah aku terima. Pengakuan akan bakat dan segala giat yang aku miliki. Semua menyilaukan mata. Hampir membutakan. Namun kembali ke hakikat manusia, aku belum puas akan semuanya. Aku belum menang di bagian mana bahkan aku tak tahu. Aku hanya merasa kurang dan masih ada yang belum memuaskan dahaga.
Aku memang belum mempunyai pasangan, namun bukankah wanita ditakdirkan untuk diburu. Bukan memburu. Sebenarnya aku pun tak pernah keberatan untuk hidup sendiri dengan semua yang aku punya. Aku sudah cukup dengan segala yang aku punya dan sebuah keluarga. Bagian ini hanya pelengkap bagiku.
Aku membangun ekonomi keluargaku, lagi-lagi suatu kebanggan bagiku. Kehidupan ini tak pernah terbayangkan bagiku. Ayah, ibu dan aku, rasanya cukup berlebihan dengan gaji yang aku dapatkan dari pekerjaanku. Bahkan aku tak takut menghabiskan sebulan gaji kalau hanya untuk memanjakan diriku. Aku berhak mendapatkannya.
Pagi itu, seperti biasa saat aku ingin mencoba segala nikmat selama aku hidup, aku membeli tiket pesawat ke Jakarta untuk menemui sahabat ketika aku kuliah. Membincangkan prestasi masing-masing merupakan kebanggaan tersendiri di antara kami.
Meminta izin Ayah dan Ibu pun seperti basa basi, bukan karena aku tak menghormati, tapi memang mereka yang tak punya alasan untuk melarang aku pergi. Aku masih ingat bagaimana tata krama, maka aku cium tangan kedua orang tua. Takut juga, bila mendapat bala hanya gara-gara kualat pada orang tua.
Momen yang paling menyita perhatianku adalah menikmati tingginya jarak kita memandang ke tempat sebelumnya kita berpijak. Pemandangan dari jendela pesawat ini pula yang berarti dalam memotivasi hidupku, bahwa selalu ada cara untuk mencapai suatu ketinggian, bahwa tinggi bukan berarti mustahil untuk dicapai.
Euphoria ini sesaat memudar, mengembalikan kesadaranku beberapa saat, sadar betapa lelahnya tubuh kecil ini setelah aku paksa untuk melakukan rutinitas yang luar biasa. Maka aku membiarkan lelah mengambil kuasa.

Dia tak pernah lelah memberi sebuah tanda
kadang kita mengetahuinya, tapi salah menafsirkannya.
kadang kita mengetahuinya, lalu mengabaikannya.

Ini mimpi pikirku. Tapi guncangan kedua menyadarkanku bahwa ini adalah sebuah fakta yang nyata. Pesawat ini seperti kehilangan keseimbangannya. Menyusul guncangan ketiga. Keheningan yang menggangu begitu mencekam di setiap jeda guncangan itu. Penumpang di pesawat itu menunggu khawatir akan ada guncangan berikutnya. Dan guncangan keempat pun terjadi.
Penumpang di sampingku tampak hikmat memejamkan mata, bibirnya komat-kamit melafalkan doa. Menggulirkan butir-butir tasbih jingga dari ujung jarinya.
Aku memejamkan mata, ingin melafalkan doa. Tapi guncangan itu berhenti sebelum aku berdoa. Susah payah jantungku mulai kembali pada detak normalnya. Aku tersenyum, Tuhan masih menyayangiku, masih memberikan waktu untuk menikmati hasil jerih payahku. Terbukti bahkan sebelum aku berdoa.
Dan liburan itu pun berlalu.
***



Hari ini aku akan melangsungkan pernikahanku. 1 bulan yang lalu aku dilamar seorang pengusaha tampan. Kini aku percaya bahwa ada orang-orang yang terlahir dengan keberuntungan. Mungkin aku salah satunya. Pria itu mengambil seluruh perhatianku bahkan saat aku pertama kali melihatnya.
Pernikahan itu diadakan dengan semegah-megahnya. Mengundang decak kagum setiap tamu yang datang. Memikat mata setiap orang dan lagi-lagi memeberikan kebanggan tersendiri dalam setiap pandangan itu. Siapa yang tak iri melihat pernikahan yang begitu sempurna. Pengantin yang tampan dan cantik, kemegahan resepsi yang diadakan, segala atribut pernikahan yang memberi nilai tambah pada jalannya pernikahan dan kesuksesan yang telah diraih kedua mempelai.
Aku yakin anak kami pasti akan memberi kebanggan yang sama.

***
Hari itu akan selalu aku ingat. Walau pahit.
“aku menginginkan seorang anak, bukan hanya seorang istri” teriak suamiku. “aku membutuhkan seorang keturunan, darah daging yang sama denganku, bukan membeli darah daging orang lain”
Aku tak mampu menahan tangis.
Hari itu kami pulang dari dokter kandungan untuk memeriksa kesehatan kami karena setelah 2 tahun pernikahan kami belum juga dikaruniai seorang anak. Aku tidak mampu mnghasilkan seorang anak dari rahimku. Aku malu, terlebih karena suamiku pun meneriaki kenyataan itu. Adopsi anak  yang sebenarnya hanya usaha asal-asalanku untuk membujuknya dari kemarahannya pun malah memperkeruh suasana hati suamiku.
Maka hari itu juga, suamiku berkemas dari tempat tinggal kami dan meninggalkan aku dalam tangisan. Selamanya.
Malam itu aku hanya bisa mengeluarkan air mata. Aku hanya ingin menumpahkan semuanya. Aku hanya ingin menangis.


Langit malam ini merah..
sarat dengan nada marah..
aku berhenti untuk menelaah..
meneliti akustik ruangan yang seketika berubah..

Dia_lah tangan dari Sang Pemilik Cakrawala
menangkup bumi rapuh..
hingga aku takut suatu saat akan runtuh..

aku menunggu heran kedatangan resah..
malu karena lupa cara berdoa..
aku menungkup kuyu dibawah selimut lusuh
takut Sang Izrail datang saat aku begitu lumpuh walau hanya untuk bersimpuh..
tiupan angin menegur kuanggap sebagai tanda dari Sang Maha..
Pernyataan salah karena berani mengingatnya walau dalam keadaan sarat kuasa..
memberi stempel dosa dengan keberanian menantang Sang Pencipta
aku benar-benar gelisah..
aku memang sudah gila..

Aku tau harusnya aku segera menyentuhkan dahiku ke sajadah yang dalam jangka waktu yang sangat lama tak pernah aku jamah.  Namun aku hanya bisa memandang sajadah yang terlipat rapih itu dengan tangisan yang semakin tak bisa berhenti. Aku malu kepada-Nya. Aku lupa cara berdo’a. Aku benar-benar lupa cara berdo’a.




Aku memandang lurus ke depan, memandangi wanita yang tersenyum kepdanya. Wanita itu terlihat bahagia dan tegar. Seorang gadis berumur tujuh tahun berlarian di belakangnya. Wanita itu memandang sang gadis dengan tatapan penuh kasih. Sang gadis memeluknya dari belakang. Membuat mukenah yang digunakannya menjadi miring dan menampakkan helai rambutnya yang ikal. Setelah wanita itu selesai membenahi mukenahnya di depan kaca, ia berbalik menghadap sang gadis dan membenahi letak mukenahnya.
“Sri, kita sholat yuk”
“tapi mama harus jawab dulu pertanyaanku”
“Apa yang kamu ingin tanyakan, nak?”
“Kenapa aku harus sholat?”
“agar kamu tidak pernah lupa bagaimana cara berdo’a. Walaupun kamu sudah punya mobil, rumah, pesawat atau apapun nanti yang kamu punya, Kamu harus tetap ingat untuk berdoa.” aku cium keningnya. “mama pernah lupa cara berdo’a dan Mama malu kepada Allah. Karena sesungguhnya semua yang kita punya ini Allah yang memberi. Jadi kita tidak boleh lupa bersyukur dan terus berdoa supaya Allah terus memberikan berkahNya kepada kita”
Gadis itu mengangguk sok tahu walaupun yang ia pahami hanyalah bahwa ibunya menderita penyakit lupa yang akut karena bisa lupa hal yang baginya sangat mudah dilakukan.