Bisakah kalian bayangkan sebuah desa yang lama kekeringan, kini dibasahi walau hanya dngan gerimis? Penduduknya akan kesenangan, bahagia tak tertepiskan, lalu kemudian tumbuh bersama harapan. Harapan bahwa hujan akan datang lagi, mungkin lebih besar. Tapi jika itu memang tidak mungkin, gerimis seperti kemarin pun sudah sangat menyenangkan.
Aku ibarat penduduk desa itu. Sudah lama kehilangan orang yang memberikan harapan, sudah lupa bagaimana rasanya diperhatikan bahkan tak ingat lagi kapan terakhir kali aku menunggu sebuah kedatangan. Lalu kau datang hanya dengan sebuah senyuman. Seperti gerimis di desa yang kekeringan, senyum itu membasuh rasa haus akan kehadiran, mengingatkan aku bagaimana rasanya berharap dan keheningan hidup hilang dalam sekejap.
Namun aku lupa untuk bersyukur dengan kehadiranmu, lalu berharap akan lebih banyak lagi senyuman, berharap akan lebih sering lagi mendapat kehadiran dan terus menumbuhkan berbagai bentuk harapan. Besarnya kekecewaan berbanding lurus dengan besarnya harapan yang kita tanamkan. Maka kekecewaan itu tak dapat aku elakkan. Ternyata aku hanya penduduk desa kekeringan yang melihat fatamorgana. Semu. Senyum itu hanya gerimis kecil yang turun sementara. Bukan  pertanda akan adanya gerimis-gerimis kcil lainnya, apalagi hujan besar yang dapat membasahi kekeringan desa.
Aku mengharapkamu berlebihan.